Ulama Perempuan Hadir untuk Merespon Isu-Isu Perempuan

Ulama perempuan harus mampu menggerakkan perempuan dalam menjawab masalah seperti pernikahan anak, poligami, dan ekstremisme.
Ismira Lutfia Tisnadibrata
2017.04.26
Cirebon
170426_ID_FemaleUlama_1000.jpg Peserta Kongres Ulama Perempuan Indonesia menyimak sesi pembuka kongres, di Pondok Pesantren Al Islamy Pondok Jambu, Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat, 26 April 2017.
Ismira Lutfia Tisnadibrata/BeritaBenar

Ulama perempuan perlu lebih berperan di masyarakat untuk membantu umat Islam perempuan dalam menghadapi isu khas terkait perempuan dengan perspektif perempuan, demikian salah satu kesimpulan dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Cirebon, Rabu, 26 April 2017.

Bushra Qadim Hyder, seorang aktivis dari Pakistan yang melalui organisasinya berjuang melawan ekstremisme agama dan mempromosikan Islam yang damai, mengatakan bahwa ulama perempuan perlu untuk bergerak dan mendorong perempuan lebih terbuka dalam membicarakan masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari seperti pernikahan anak, poligami, dan ekstrimisme.

“Sudah waktunya ulama perempuan untuk maju ke depan dan membicarakan isu-isu ini dan memberikan kekuatan kepada mereka yang sudah berjuang di lapangan dalam segala bidang tanpa dukungan dari ulama perempuan, terutama di Pakistan, karena mereka biasanya tidak muncul di permukaan,” ujar Bushra yang aktif di PAIMAN Alumni Trust Pakistan, saat diwawancara di sela-sela KUPI di Pesantren Kebon Jambu al-Islamy, Babakan Ciwaringin, Cirebon.

Nur Rofiah Bil Uzm, dosen program pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Alquran, Jakarta, mengatakan Surat An-Nisa (4) ayat 3 dalam Alquran yang menyebut tentang poligami, juga menganjurkan monogami bagi mereka yang takut tidak dapat berlaku adil.

Nur mengatakan anjuran monogami itu merupakan sasaran akhir dari ayat tersebut dan hal itu sudah sejalan dengan Undang-Undang No 1. Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 3 yang mengatakan pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai satu istri.

“Ada ayat tentang monogami dalam Alquran, mengapa tidak populer? Mungkin karena ulama perempuan belum muncul,” ujarnya dalam salah satu sesi kongres yang telah dibuka sejak Selasa dan akan berlangsung hingga Kamis, 27 April 2017.

Kongres yang diadakan oleh Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon dan The Asian Muslim Action Network (AMAN) itu merupakan kongres ulama perempuan yang pertama di Indonesia.

Berperan cegah ekstremisme

Ekstrimisme agama juga menjadi salah satu isu bagi perempuan sebagai pihak yang terlibat langsung dalam pengasuhan anak dan keluarga sehingga mempunyai peranan penting untuk mencegah ekstremisme.

Bushra mengatakan ini adalah isu yang paling mendesak yang harus dijawab oleh ulama perempuan, terutama di Pakistan karena ulama perempuannya tidak muncul untuk mengutuk isu tersebut.

“Mereka harus mengutuk ekstremisme dan mereka harus mendidik para ibu untuk menghindari kecenderungan ekstrimisme di rumah dan mendidik anak-anak mereka sebagai manusia dan Muslim yang toleran,” ujar Bushra.

Namun dalam menghadang radikalisme dan menebarkan Islam yang moderat, ulama perempuan di Indonesia harus menghadapi tantangan budaya yang mengunggulkan laki-laki, yang didukung oleh tafsir agama oleh laki-laki, ujar Machasin, guru besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Machasin menambahkan dalam budaya seperti ini, perempuan tidak mudah tampil sebagai pemimpin, namun ulama perempuan dapat mengisi wilayah-wilayah publik yang tidak dapat diisi oleh ulama laki-laki.

“(Ulama) laki-laki saja tidak bisa membuat tafsir agama yang seimbang karena hanya memakai sudut pandang laki-laki saja,” ujar Machasin.

Husein Muhammad, ketua Yayasan Fahmina dan tokoh Islam di Cirebon, mengatakan saat ini dunia memerlukan lahirnya banyak ulama perempuan karena mereka dibutuhkan untuk bersama kaum laki-laki bisa memberi makna baru atas hidup yang adil dan berkemanusiaan.

Siapakah ulama perempuan

Namun kebangkitan ulama perempuan juga diikuti dengan pertanyaan mengenai siapakah yang dapat disebut ulama perempuan dan bagaimana menentukan seseorang adalah ulama perempuan.

Nur Rofiah mengatakan bahwa perempuan ulama adalah perempuan yang menjadi ulama dengan identitas gendernya sebagai penentu utama, sedangkan ulama perempuan adalah ulama yang mempunyai kesadaran dan perspektif keadilan yang hakiki terhadap perempuan.

“Ulama adalah laki-laki atau perempuan yang menguasai ilmu agama secara mendalam, yang memiliki akhlak luhur untuk memanusiakan manusia,” ujar Husein, yang merupakan mantan komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.