UNDP: Kesenjangan di Indonesia Masih Tinggi
2017.03.22
Jakarta

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia mengalami perkembangan dalam 25 tahun terakhir, namun kesenjangan masih tinggi, karena perempuan, etnis minoritas, dan masyarakat daerah terpencil masih tertinggal dalam pembangunan, demikian laporan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP).
“Posisi kelompok ini lemah karena ada kesenjangan dan kekurangan suara, mereka tidak bisa berdialog,” kata Direktur UNDP Indonesia, Christophe Bahuet, ketika merilis laporan IPM (Human Development Report) 2016, di Jakarta, Rabu, 23 Maret 2017.
“IPM bukan hanya pendapatan yang tinggi, tapi juga unsur kesehatan dan pendidikan,” ujarnya.
Laporan itu mengulas masalah, perkembangan, dan kebijakan yang berhubungan dengan pembangunan, dimana UNDP mencatat kemiskinan dan kesenjangan sosial masih tinggi di Indonesia yang berpenduduk 257 juta.
Sekitar 140 juta warga Indonesia hidup dengan pendapatan kurang dari Rp20.000 per hari.
Selain itu, 19,4 juta orang Indonesia menderita gizi buruk dan hampir 5 juta anak tidak bersekolah karena kesenjangan wilayah di daerah terpencil, seperti Papua.
UNDP juga mencatat 2 juta anak di bawah setahun belum diimunisasi lengkap dan angka kematian ibu mencapai 305 kasus per 100 ribu kelahiran hidup.
Indonesia pada 2015 menduduki peringkat 113 dari 188 negara dalam IPM. Peringkat itu turun dari posisi 110 tahun 2014. IPM 2015 meningkat sekitar 30,5 persen dalam 25 tahun terakhir.
"Indonesia memang baik angkanya, tapi di wilayah Asia Pasifik. Tiga dimensi pemasukan, kesehatan dan pendidikan, Indonesia meningkat luar biasa," kata Juliaty Ansye Sopacua, Penasihat Teknis Bidang Demokrasi Pemerintahan dan Penanggulangan Kemiskinan UNDP Indonesia.
Kesenjangan gender
Bahuet mengakui di sejumlah negara berkembang, peran pria lebih dominan dibanding perempuan. Padahal, banyak perempuan tergolong sukses dalam berbisnis.
“Tak jarang yang menjadi CEO perusahaan dan ini contoh kalau wanita bisa berperan dalam bidang ekonomi,” katanya.
Dia menambahkan pemerintah perlu menyediakan akses bagi perempuan untuk pencapaian bisnisnya seperti penyediaan akses kredit bank dan bersosialisasi.
Selain itu perlu menyadarkan pria akan pentingnya kesetaraan gender dan penghentian kekerasan terhadap perempuan.
“Tidak ada kekerasan dalam rumah tangga, posisi sama dalam suatu perusahaan berarti mendapatkan gaji setaraf dan promosi sama dalam jabatan seperti dalam parlemen atau institusi pemerintahan,” ujarnya.
Juliaty menilai pembangunan manusia tak bisa dicapai kalau setengah populasinya tidak membaik seperti pengabaian terhadap hak perempuan dan tidak ada akses pendidikan.
“Ini ketertinggalan multidinamis dan membuat keberhasilan capaian pembangunan tidak terukur,” ujarnya.
Ia melihat dibandingkan negara lain, IPM kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki Indonesia tergolong rendah.
IPM tahun 2015 untuk laki-laki Indonesia 0,712 dan untuk perempuan Indonesia: 0,660. Angka ini berada di bawah Filipina yang mencapai 0,682 (perempuan) dan 0,681 (laki-laki) dan China yang mencatat 0,718 (perempuan) dan 0,753 (laki-laki).
“Mayoritas negara memang masih terjadi gap gender tak terkecuali China yang tergolong negara maju,” katanya.
Ada 100 negara dimana orang tidak bisa mengejar karir karena gender, termasuk yang membedakan hak mendapatkan paspor dan visa lantaran gender.
“Padahal pembangunan manusia untuk semua tidak mungkin tercapai tanpa perempuan,” tegas Juliaty.
Berbagai faktor
Bahuet merinci terdapat beberapa faktor yang menyebabkan ketimpangan laki-laki dan perempuan dimana salah satunya adalah faktor sosial, keterbelakangan pendidikan, faktor budaya dan ketertinggalan dalam pertumbuhan ekonomi.
“Perlu kewaspadaan masyarakat dan pemerintah untuk memberikan akses wanita ke dalam parlemen dan memberikan kesempatan kepada oaganisasi kewanitaan,” katanya.
“Dunia bisnis dan ekonomi di negara berkembang juga masih rentan dan banyak didominasi pria.”
Jika persamaan gender dicapai, tambah dia, maka pencapaian sustainable development goal (SDG’s) juga akan terus meningkat.
Tanggapan pemerintah
Menanggapi laporan tersebut, Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Prabudiarta Nur Sitepu, mengatakan saat ini pemerintah sudah mendorong agar perempuan bisa berpartisipasi dalam bidang ekonomi.
“Mereka diarahkan untuk bekerja formal dan kami memberikan perlindungan terhadap pekerja informal perempuan,” katanya saat dikonfirmasi BeritaBenar.
Salah satu caranya, kata dia, dengan memberikan pengarahan dan pengetahuan kepada pria untuk agar membantu perempuan dalam menyelesaikan tanggung jawab domestik.
“Sosialisasi telah dilakukan dan ini penting karena wanita bekerja juga harus mengurus pekerjaan rumah. Peran pemerintah juga menyediakan fasilitas penitipan anak di setiap kementerian,” ujarnya.
Terkait perlindungan anak, pihaknya juga telah mengubah peran pemerintah dari pasif menjadi aktif sehingga anak mendapatkan hak sipil sesuai UU yang berlaku.
“Kepala desa sekarang wajib mencatat dan melaporkan jika ada kelahiran baru. Pendidikan anak juga sudah meningkat dari 9 tahun menjadi wajib 12 tahun (tingkat SMA),” katanya.
Prabudiarta menambahkan, pemerintah memberikan perlindungan khusus untuk anak supaya tidak mengalami kekerasan dan mendapatkan potensi untuk tumbuh dan berkembang.
“Anak diperkuat mentalnya, orang tuanya diberikan pengetahuan agar mampu melihat ancaman seperti narkoba dan pornografi dan melibatkan peran aktif masyarakat,” pungkasnya.