Usut Tolikara, Polda Papua Periksa 30 Anggotanya
2015.07.31
Kepala Polri Badrodin Haiti mengatakan bahwa 30 anggota kepolisian di Papua sedang menjalani pemeriksaan terkait dengan kerusuhan yang terjadi di Tolikara tanggal 17 Juli lalu.
“Pemeriksaan anggota kepolisian dilakukan agar kita mempunyai kejelasan apakah mereka ikut terlibat dalam kejadian tersebut, apakah mereka sudah mengikuti instruksi yang diberikan dan jika mereka mengetahui informasi lainnya tentang kerusuhan ini,” kata Badrodin mengkonfirmasi kepada BeritaBenar hari Jumat, 31 Juli.
Sementara itu, dua orang tersangka yang telah ditangkap oleh kepolisian tanggal 23 Juli lalu, yaitu Arianto Kogoya (26) dan Jundi Wanimbo (31), masih dalam proses penyelidikan.
“Kami masih menyelidiki motif dari tersangka,” tukas Badrodin.
Badrodin menjelaskan latar belakang Arianto sebagai seorang kariyawan Bank Papua di Tolikara dan Jundi ialah pegawai negeri sipil (PNS). Ia mengurusi tentang Keuangan Pemerintah Daerah.
Penegakan hukum di Tolikara tidak bisa melalui cara adat: kepolisian
Badrodin mengatakan penyelidikan akan terus berlanjut, meskipun berbagai tokoh agama di Papua meminta untuk dihentikan karena umat Islam dan Kristen di wilayah itu sudah menyelesaikan masalah ini dengan cara adat.
"Kami sudah melakukan penahanan, tak mungkin bisa dihentikan. Ini harus diproses peradilan," kata Badrodin.
Tokoh Agama Islam di Tolikara Ustadz Ali Muchtar sebelumnya mengatakan bahwa umat Islam dan Kristen di Tolikara sepakat agar penyelesaian kerusuhan di Tolikara dengan cara adat.
"Kami mewakili umat Muslim dan selaku tokoh agama Islam yang ada di Tolikara menyampaikan bahwa insiden yang terjadi di Tolikara diselesaikan secara damai dan kami setuju bahwa insiden tersebut bukan masalah SARA atau agama," kata Ali di Kantor Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Papua di Jayapura tanggal 29 Juli.
“Kami sudah aman. Umat Islam dan Kristen telah duduk bersama dan menyelesaikan permasalahan ini secara adat dan saling memaafkan,” kata Sekretaris Badan Pekerja Gereja Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI) wilayah Toli, Pendeta Marthen Jingga kepada BeritaBenar via telepon.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Tedjo Edhy Purdijatno mengatakan, ada tiga hal penting yang harus diselesaikan di Tolikara.
"Adanya dialog antar agama, perbaikan infrastruktur yang rusak, dan ketiga adalah penegakan hukum oleh Polri. Ini adalah instruksi langsung dari Presiden Joko Widodo,” kata Tedjo Edhy mengkonfirmasi kepada BeritaBenar hari Jumat.
Pemerintah lamban mengatasi konflik Tolikara
Lembaga non-profit yang fokus terhadap hak asasi manusia (HAM), Human Rights Working Group (HRWG) berbasis di Jakarta mengatakan pemerintah sangat lamban mengatasi kerusuhan di Tolikara.
“Pemerintah gagal memfasilitasi dialog antara umat. Seharusnya pemerintah ikut menjembatani dialog antar umat yang berkonflik, bukan hanya untuk mencari penyelesaian kedepan tetapi juga mencari akar konflik,” kata Rafendi Djamin, direktur eksekutif HRWG kepada BeritaBenar hari Jumat.
“Sehingga konflik yang sama tidak akan terulang lagi,” katanya seraya menjelaskan bahwa Papua termasuk wilayah yang rawan konflik.
“Bukan hanya adanya Operasi Papua Merdeka (OPM), tetapi juga konflik antara pendatang dan penduduk asli, pemilihan Pilkada yang semakin dekat,” katanya sembari menjelaskan bahwa hal-hal tersebut sangat mudah dipolitisasi oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan dari kerawanan Papua.
Menelusuri kerusuhan di Tolikara
Kerusuhan Tolikara terjadi tanggal 17 Juli lalu saat Masjid Baitul Muttaqin dibakar, saat umat Islam sedang melakukan salat Idul Fitri sekitar jam 07.00 waktu setempat.
Kabupaten Tolikara terletak di lembah Toli. Melalui jalan darat menuju ke Ibu kota Jayapura penumpang harus transit ke Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawiya. Jarak Tolikara-Wamena sekitar 96 kilometer. Dari Wamena, perjalanan baru bisa dilanjutkan dengan pesawat terbang besar ke Jayapura, menurut laporan Tempo.
Pertikaian terjadi saat sekelompok massa berdatangan dan melemparkan batu.
Beberapa dari mereka bahkan melakukan aksi pembakaran kios yang akhirnya merambat ke rumah penduduk dan membakar Masjid Baitul Muttaqin, setidaknya 38 rumah dan 63 kios terbakar seketika itu, kata Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar Patridge Renwarin kepada BeritaBenar hari Senin, 20 Juli 2015.
“Seorang warga tewas dalam kejadian ini adalah Endi Wanimbo (15), jemaat Gereja Sinode, dan 153 lainnya terluka,” lanjut Patridge.
Insiden itu memicu protes sengit dan serangan balas dendam jelas di Jawa.
Gereja Baptis Indonesia (GBI) Saman di Desa Bangunharjo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Gereja Kristen Jawi (GKJ) Teplok di Purworejo dibakar oleh orang-orang tak dikenal tanggal 20 Juli dini hari.
Ribuan ormas Islam yang tergabung dalam Solidaritas Untuk Kaum Muslim Papua membanjiri Kota Surakarta tanggal 18 Juli, 2015 memprotes pembakaran masjid di Tolikara.
Surat Edaran
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menyatakan pihaknya sedang memeriksa dua orang yang diduga menandatangani surat edaran yang beredar sebelum kerusuhan itu.
Surat edaran tersebut berisi permintaan antara lain agar umat Islam tidak mengerahkan massa dalam jumlah besar karena GIDI akan mengadakan seminar internasional pada 13-19 Juli dan larangan bagi perempuan Muslim untuk mengenakan jilbab.
“Di dalam surat itu, disampaikan juga larangan untuk mendirikan rumah ibadah bagi semua agama kecuali untuk GIDI,” ujar Badrodin kepada BeritaBenar minggu lalu.
Tetapi sebelumnya pada tanggal 20 Juli lalu, Presiden GIDI Dorman Wandikmbo mengelak tuduhan bahwa GIDI telah mengirimkan surat larangan tersebut kepada anggota Masjid Baitul Muttaqin.
“Itu tidak benar. Memang sebelumnya ada pemuda gereja yang mendatangi umat Islam yang akan melangsungkan salat Id. Tujuannya adalah memberitahukan bahwa GIDI juga sedang mempunyai acara penting,” kata Dorman kepada BeritaBenar.
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin mengatakan agar umat beragama di Papua meneruskan perdamaian yang telah kembali terjaga di Tolikara.
“Jangan biarkan Papua disusupi oleh oknum tidak bertanggungjawab. Kita umat beragama sudah seharusnya hidup dalam damai dan toleransi,” katanya kepada BeritaBenar hari Jumat.
“Kedamaian di Tolikara menjadi tanggungjawab seluruh umat,” katanya.