BNPT Mendesak Revisi UU Terorisme, Aktivis Mengecam Hilangnya Kebebasan Berbicara
2015.03.30
Kementerian Dalam Negeri akan memulai proses untuk merevisi Undang-Undang (UU) anti-terorisme, aktivis cemas upaya pemerantasan ISIS akan membuat Indonesia menapak mundur demokrasi.
"Kami beserta dengan tim akan bekerja dengan keras untuk merancangkan aturan perubahan tersebut," kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo kepada BenarNews tanggal 30 Maret.
Tjahjo mengatakan revisi UU termasuk diantaranya adalah pemeriksaan lebih ketat pada WNI yang mengaku ke Timur Tengah untuk menjalankan ibadah haji, tetapi kemudian pergi ke Irak atau Suriah untuk bergabung dengan ISIS.
"Salah satu alasan umum untuk pergi ke sana adalah untuk umroh dan kita tidak bisa melarang orang yang akan berziarah," kata Tjahjo.
Ia juga mengatakan akan ada tim khusus untuk membahas gagasan mencabut kewarganegaraan Indonesia yang melanggar hukum karena bergabung dengan ISIS.
“Kami akan sangat berhati-hati mengatur kebijakan tersebut,” katanya.
Deputi Penindakan dan Pembinaan Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang baru, Arief Dharmawan, mengatakan, untuk merevisi UU anti-terorisme pemerintah juga harus merevisi UU No.9, 1998 tentang hak berbicara dan UU no.17/2013 tentang makar untuk mencegah penyebaran ideologi ISIS.
"Selama ini UU hanya mengatur penegakkan hukum bagi organisasi yang terdaftar. Seperti yang kita tahu, di Indonesia banyak sekali organisasi, termasuk organisasi Islam yang tidak terdaftar. Pertanyaannya, bagaimana kita akan menegakkan hukum kalau mereka tidak terdaftar?” kata Arif kepada BenarNews tanggal 30 Maret lewat telefon.
"Tanpa ini provokator, termasuk pendukung ISIS, bisa saja berbicara dan menyebarkan ideologi yang salah di publik,” ujar Arif lebih lanjut.
Arif menyatakan revisi perlu dilakukan untuk mencakup organisasi Islam yang tidak terdaftar.
“Pemerintah harus mempertimbangkan revisi untuk mengurangi kemungkinan provokasi yang salah dari pendukung ISIS,” katanya.
Pemblokiran situs radikal
Minggu ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengumumkan telah memblokir 70 situs yang dianggap berbahaya.
Tindakan ini dilanjutan dengan 19 situs yang radikal tanggal 30 Maret.
“Minggu lalu kami telah memblokir 19 situs. Ini adalah komitmen kami untuk meredam radikalisme yang disebarkan lewat media maya,” kata Rudiantara di kantor Menkominfo.
Dalam pemblokiran kali ini termasuk diantaranya adalah situs-situs Islam ternama seperti arrahmah.com, voa-islam.com dan eramuslim.com.
Sebelumnya dalam konferensi internasional tentang terorisme dan ISIS di Jakarta, pakar studi terorisme Rohan Gunaratna mengatakan Indonesia mempunyai 200 situs radikal.
Cemas akan hilangnya kebebasan berbicara
Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya, mengatakan masyarakat sipil harus terus memonitor kewenangan BNPT untuk menangkap, menahan bahkan menembak sesorang sebelum pengadilan.
“Yang lebih parah lagi, dugaan pelanggaran HAM serius oleh unit kontra terorisme ini juga belum ada tindak lanjut dan evaluasi kongkritnya,” kata Harits seperti dikutip dalam Portal Islampost.
Aktivis Hak Asasi Manusia dari Lembaga Bantuan Hukum Ricky Gunawan menyatakan pemerintah harus peka terhadap isu terorisme tanpa mengurangi kekebasan untuk berbicara.
“Kita tidak seharusnya tidak mengulang sejarah ketika berada dalam otoritarian rezim Soeharto. Sikap memerangi terorisme tidak seharusnya di campur adukkan dengan kebebasan berbicara,” katanya.
Ia juga mengatakan masyarakat Indonesia secara luas mempunyai harapan yang tinggi terhadap kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Kita berharap terorisme bukan menjadi alat bagi penguasa untuk meninggalkan demokrasi,” katanya.