Indonesia melunakkan UU ITE yang kontroversial
2023.12.05
Jakarta
DPR pada Selasa (5/12) menyetujui revisi undang-undang informasi dan transaksi elektronik yang kontroversial dengan melunakkan beberapa ketentuannya, termasuk pasal yang berkaitan dengan penghinaan atau pencemaran nama baik secara online, yang menurut kelompok aktivis menghambat kebebasan berpendapat dan digunakan untuk memidana mereka yang kritis terhadap penguasa.
Meskipun revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE) juga mengurangi hukuman maksimum bagi pelaku pencemaran nama baik dari 4 menjadi 2 tahun, para aktivis mengatakan mereka masih khawatir peraturan tersebut menggunakan istilah-istilah yang tidak jelas dan memberikan wewenang yang berlebihan kepada pemerintah.
Perubahan terhadap undang-undang yang pertama kali disahkan pada 2008 dan direvisi satu kali pada tahun 2016 itu terjadi setelah bertahun-tahun dikritik oleh kelompok masyarakat sipil dan aktivis hak asasi manusia yang mengatakan undang-undang tersebut mengancam kebebasan berekspresi dan membungkam perbedaan pendapat.
Abdul Kharis Almasyhari, Ketua Panitia Kerja Revisi UU ITE mengatakan revisi tersebut bertujuan untuk memberikan kejelasan hukum dan melindungi hak-hak pribadi sekaligus menjaga kepentingan publik.
“Yang paling mendasar, tidak ada lagi pasal karet,” ucap Abdul Kharis, anggota DPR dari Komisi I yang salah satu fungsinya mengawasi undang-undang, kepada BenarNews.
Namun para aktivis tidak sepenuhnya percaya akan hal itu dan masih mengkhawatirkan bahwa undang-undang tersebut tetap digunakan untuk membungkam kritik penguasa, mengingat - kata mereka- masyarakat tidak dilibatkan dalam pembahasan revisinya.
“Pembahasan revisi di Senayan lebih sering tertutup. Kami melihat upaya negara, yaitu pemerintah dan DPR, dalam melibatkan partisipasi publik dalam proses revisi kedua UU ITE selama ini sangat tidak bermakna dan hanya basa basi,” ujar Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, kepada BenarNews.
Publik hingga saat ini belum bisa mengakses revisi udnang-undang yang mengatur berbagai aspek aktivitas online, seperti konten, privasi, dan keamanan siber itu.
Dalam draft undang-undang yang dibagikan oleh LSM Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) terlihat bahwa peraturan yang direvisi ini mempersempit definisi dan elemen dari beberapa pelanggaran paling kontroversial, seperti pasal kesusilaan, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, pemerasan, dan penindasan yang dilakukan secara daring.
Peraturan tersebut juga memberikan pengecualian dan pembenaran untuk tindakan tertentu, seperti pembelaan diri, kepentingan umum, dan tujuan pendidikan, serta menurunkan hukuman penjara dan denda maksimum untuk beberapa pelanggaran, kata ICJR dalam sebuah laporan yang dirilis di situs webnya pada Senin.
Hal ini juga memungkinkan sanksi alternatif, seperti pelayanan masyarakat dan rehabilitasi, kata ICJR.
Namun, lembaga tersebut mengatakan revisi UU itu masih memberikan pemerintah kewenangan yang luas dan tidak jelas untuk memerintahkan penyedia konten menyesuaikan sistem elektronik mereka atau mengambil tindakan lain yang dianggap perlu oleh pemerintah.
Harus tetap pantau
Johanna Poerba, peneliti ICJR mendesak masyarakat untuk memantau penerapan undang-undang tersebut.
Ia mencontohkan kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dua aktivis hak asasi manusia yang diadili atas tuduhan pencemaran nama baik Luhut Binsar Pandjaitan, dalam sebuah video yang menuduh keterlibatan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi itu dalam aktivitas penambangan emas kontroversial di wilayah Papua.
Haris dan Fatia didakwa berdasarkan UU ITE dan jaksa menuntut hukuman penjara masing-masing 4 dan 3,5 tahun bagi mereka.
“Seperti kasus Fatia-Haris yang menyebarkan informasi demi kepentingan publik begitu harusnya gak bisa dipidana. Sebetulnya limitasi ini bukan barang baru,” jelasnya kepada BenarNews.
SAFENet, sebuah kelompok yang memantau hak-hak digital, melaporkan bahwa undang-undang tersebut digunakan untuk mengadili 64 dari 84 pengguna internet Indonesia yang menghadapi tuntutan pidana pada tahun 2020, meningkat empat kali lipat dari 24 kasus pada 2019.
Amnesty International Indonesia juga mencatat setidaknya ada 332 orang yang dituduh melanggar pasal-pasal yang tidak jelas dan bermasalah dalam undang-undang tersebut sejak Januari 2019 hingga Mei 2022.
Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi mengatakan pemerintah bertanggung jawab menjamin kebebasan berpikir dan berekspresi serta perlindungan pribadi dan penghormatan terhadap martabat, keamanan, dan privasi.
“Untuk menjamin hak tersebut, pemerintah perlu memberikan pembatasan yang diperlukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan hak yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis,” ucap Budi dalam pidatonya saat menyampaikan pendapat akhir pemerintah di DPR pada Selasa (5/12).
Edi Santoso, dosen komunikasi Universitas Jenderal Soedirman di Purwokerto, mengatakan undang-undang versi baru ini merupakan langkah maju bagi kebebasan berekspresi.
“Di satu sisi, ini melindungi hak-hak pribadi. Di sisi lain, ini juga menjaga kepentingan publik,” ujarnya kepada BenarNews.
Kritik dari kelompok konservatif
Undang-undang yang direvisi ini juga menuai kritik dari beberapa kelompok konservatif yang melihatnya sebagai konsesi terhadap aktivis liberal yang memperjuangkan hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi.
Henri Subiakto, Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Surabaya dan mantan staf ahli Kementerian Komunikasi dan Informasi, menyoroti pasal kesusilaan dalam revisi UU ITE sebagai kemenangan aliran liberal. Dia khawatir revisi pasal-pasal tersebut akan merusak moral bangsa.
“Itu gerakan lama yang sukses sekarang. Ini gerakan HAM Liberal yang dibawa para aktivis, sukses masuk,” terang Henri pada BenarNews.
Ia mencontohkan pasal yang menyebutkan siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan konten cabul untuk konsumsi masyarakat, dapat dikenakan sanksi hukum.
Ia mengatakan, pasal tersebut hanya berlaku untuk sesuatu yang bertujuan untuk publisitas, sedangkan urusan pribadi dikecualikan dari sanksi hukum meski melanggar norma agama.
“Berarti kalau ada orang kirim video porno ke adik perempuan Anda atau ke istri Anda, maka UU ITE yang baru ini tidak bisa menjerat pelaku,” ujar dia, “ini kekacauan dan mengabaikan norma agama!”
Nazarudin Latif berkontribusi dalam berita ini.