Ketika Heboh Vaksin Palsu Belum Berakhir

Zahara Tiba
2016.07.21
Jakarta
160721_ID_vaccine_1000.jpg Seorang bayi sedang disuntik vaksin di sebuah klinik di Jakarta, 18 Juli 2016.
Zahara Tiba/BeritaBenar

Sambil memeluk Alesha, bayinya yang berusia delapan bulan, Indah mengamati gedung di seberang jalan kecil kawasan Kemanggisan Pulo, Palmerah, Jakarta Barat, Selasa siang, 19 Juli 2016.

Akhirnya ia memasuki gedung berpapan nama Klinik Pratama Adipraja Medika itu. Ia ingin putrinya diimunisasi campak.

"Saya memang khawatir lah. Tadi pagi, baca berita kalau klinik ini juga termasuk yang (mendistribusikan) vaksin palsu," kata Indah kepada BeritaBenar.

Dia mengaku telah menggunakan jasa klinik tersebut sejak saat masih mengandung Alesha.

Di dalam gedung itu tidak tampak seorang pasien pun yang memeriksa kesehatan atau kaum ibu membawa anak-anak mereka untuk imunisasi. Pemandangan yang tak lazim karena sebulan lalu selalu penuh.

Hanya tampak tiga perawat tengah mengobrol. Seorang dari mereka menemui Indah.

"Ada apa Bu? Mau imunisasi apa mau tanya soal vaksin palsu?" tanya perawat itu.

Indah menjelaskan niatnya, hendak mengimunisasi putrinya.

"Soalnya dari kemarin banyak wartawan datang ke sini. Saya tidak bisa komentar lah," tambah perawat yang menolak disebutkan namanya.

Ibu muda itu disarankan untuk kembali keesokan harinya. Tak hanya untuk imunisasi, Indah juga bisa mendapatkan keterangan langsung dari pimpinan klinik, yang akan memberi klarifikasi tentang dugaan keterlibatan klinik itu dalam kasus vaksin palsu yang sedang heboh.

Sang perawat menjamin semua vaksin dasar yang diberikan di klinik itu asli, karena disuplai oleh pusat kesehatan masyarakat setempat.

Diakuinya memang sempat ada dua balita yang mendapat vaksin palsu. Tapi, vaksin itu yang dipesan khusus oleh orang tua balita, yakni yang tidak menyebabkan demam layaknya kebanyakan vaksin lain. Harganya pun jauh lebih mahal, sekitar Rp. 500 ribu.

"Memang disayangkan bisa terjebak seperti itu. Tapi kami tidak pernah menyediakan vaksin palsu," tegasnya. "Kasihan dokter dituduh begitu. Apalagi pemberitaan di media massa sangat berlebihan."

Menyudutkan dokter

Keluhan serupa disampaikan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), yang menyayangkan pernyataan menyudutkan dokter dan paramedis dalam kasus itu. IDI menyayangkan tindakan anarkis sekelompok massa terhadap fasilitas kesehatan, dokter dan petugas kesehatan lain.

"Hal ini berpotensi membawa dampak buruk bagi pelayanan kepada masyarakat saat ini dan masa akan datang karena hilangnya kepercayaan terhadap dokter," tegas IDI dalam pernyataan resminya.

Ada dokter dalam daftar tersangka vaksin palsu yang diumumkan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri juga menimbulkan kegelisahan di kalangan dokter. "Perlu diperjelas keberadaan dokter di sini, apakah sebagai pelaku peredaran atau korban peredaran vaksin palsu," tambah IDI.

"Untuk protokol jangka pendek kita melakukan introspeksi ke dalam. Misalnya bagi para dokter yang langgar etika, kita akan adili melalui majelis kode etik kedokteran Indonesia,” kata Ketua Umum IDI, Ilham Oetomo Marsis di Jakarta, Kamis.

Dia menambahkan sidang Majelis Kehormatan Etik Kedokteran terhadap dokter yang diduga terlibat akan dilakukan setelah setelah menjalani proses hukum di kepolisian. Bila terbukti melanggar disiplin, dokter itu bisa saja dicabut profesi dan surat tanda register dokter.

Dalam pernyataannya, IDI mendesak Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) untuk bertanggung jawab terhadap penanganan vaksin palsu.

Menurut laporan media, vaksin palsu telah beredar sejak 2003 dan keberadaannya pernah dilaporkan ke BPOM dan polisi pada tahun 2011 tetapi tidak ada respons serius hingga penemuan Mabes Polri akhir Juni lalu.

23 tersangka

Polri sejauh ini telah menetapkan 23 tersangka, termasuk tiga dokter dan dua bidan, dalam kasus peredaran dan penggunaan vaksin palsu, tapi tak tertutup kemungkinan ada tersangka lain. Para pelaku dijerat Undang-Undang tentang Kesehatan dan UU Perlindungan Konsumen dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.

Pemerintah juga telah mengumumkan ada 14 rumah sakit yang terlibat kasus vaksin palsu, dimana 13 di antaranya terletak di Jawa Barat.

Mabes Polri juga tengah menyelidiki peredaran di daerah termasuk Aceh, Sumatera Barat, Lampung, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.

Dalam menanggapi kasus ini, Kementerian Kesehatan menggelar program revaksinasi melalui kampanye imunisasi dasar mulai 18 Juli lalu, di wilayah yang diduga menjadi tempat menyebarnya vaksin palsu. Pemerintah juga mengimbau puskesmas untuk membuka posko-posko pengaduan.

Ketua satuan tugas (Satgas) penanggulangan vaksin palsu, Maura Linda Sitanggang dalam jumpa pers di Mabes Polri, Kamis, menyatakan bahwa sejauh ini sudah 400-an anak divaksin ulang di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.

Menurut dia, Satgas  telah membuka 50 posko imunisasi ulang di DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten untuk memberikan imunisasi dan memeriksa bayi sambil melayani keluhan masyarakat.

"Jangan sampai anak kita terlepas imunisasi wajib. Penanganan dilakukan secara komprehensif dan semua menjadi tenang," ujar Linda, yang menjabat Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan.

Sementara itu, Indah memutuskan tetap datang ke Klinik Pratama Adipraja Medika untuk imunisasi Alesha. Kesehatan dan daya tahan tubuh si bayi tetap prioritas utamanya meskipun heboh vaksin palsu belum berakhir.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.