Wajah Toleransi Di Indonesia Setelah 17 Tahun Reformasi
2015.05.21

Tokoh ulama, politikus, dan akademisi mengingatkan toleransi adalah landasan dibentuknya negara Indonesia dan mengimbau untuk melanjutkan semangat Sukarno setelah 17 tahun reformasi.
"[Presiden pertama Indonesia] Sukarno bersama dengan tokoh Islam dari NU diseluruh Indonesia berjuang melawan penjajah. Nasionalisme dan toleransi adalah iman para pendahulu kita," kata Ketua Nahdlatul Ulama (NU) Said Aqil Siradj dalam peringatan hari Kebangkitan Nasional di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) tanggal 20 Mei.
Pernyataan serupa disampaikan oleh ketua Muhammadiyah Din Syamsuddin.
“Kebangkitan nasional seharusnya diperingati dengan prinsip dan roh nasionalisme. Karena itu adalah landasan terbentuknya kemerdekaan Indonesia,” kata Din kepada BeritaBenar tanggal 21 Mei.
Kebangkitan Nasional adalah periode bangkitnya rasa semangat persatuan dikalangan rakyat Indonesia setelah penjajahan Jepang dan Belanda. Masa ini ditandai dengan pendirian Budi Utomo 1908 dan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, kata Din.
Budi Utomo dibentuk tanggal 20 Mei 1908 untuk memperjuangkan ekonomi, sosial dan kebudayaan Indonesia, sedangkan sumpah pemuda dibentuk agar masyarakat Indonesia bersatu tanpa membedakan latar belakang agama, suku dan bahasa untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
”Karena itu pemuda Indonesia dimanapun berada harus meneruskan momentum ini, apalagi kita sudah mengenyam demokrasi dan reformasi sejak 17 tahun lalu,” lanjut Din.
Perdebatan negara Islam
Islam selalu dipadankan dengan nasionalisme dan pluralisme dalam sejarah Indonesia, kata para ahli.
“Saat proklamasi dinyatakan para pendahulu kita setuju bahwa Indonesia bukan hanya berprinsip kepada landasan Islam, tidak semua warga negara memeluk agama Islam,” kata Said dalam pidatonya di Lemhamnas sambil menegaskan bahwa keputusan tersebut merupakan contoh nyata dari toleransi.
Said juga menyatakan bahwa perdebatan tentang pembentukan negara Islam di Indonesia tidak pernah terhenti terutama menjelang pemilu, dimana partai Islam bertujuan untuk mencari pendukung dan meningkatkan suara.
“Tetapi itu sah karena dilakukan dalam koridor demokrasi, yang tidak sah adalah pemaksaan pembentukan negara Islam dengan kekerasan,” kata Said sambil menegaskan bahwa penegakan negara Islam dengan cara kekerasan seperti yang dilakukan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) bukanlah prinsip pendahulu pejuang Indonesia.
“Setelah 17 tahun reformasi, bisakah kita mempertahankan rasa nasionalisme yang sama. Bisakah kita bersatu melawan kekerasan yang mengatasnamakan agama,” katanya lanjut.
Dosen fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Cornelis Lay mengatakan fenomena pembentukan negara Islam di Indonesia seperti di Aceh dan di Jawa Barat diawali dari ketimpangan ekonomi.
“Ketidakmerataan pembangunan menjadi salah satu alasan. Pemberontakan mereka adalah pemberontakan setengah hati,” katanya kepada BeritaBenar.
Ketua Lemhamnas, Budi Susilo Soepandji, mengatakan pihaknya akan terus memberikan pemimpin Indonesia dengan pelatihan kepemimpinan dan nasionalisme.
"Lemhamnas akan meneruskan semangat Sukarno," katanya.
Indonesia waspada ISIS
Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) Gunawan Suryoputro mengimbau agar umat Islam di Indonesia terus menjaga semangat Kebangkitan Nasional dan menjauhi ideologi Islam yang bukan berdasar nasionalisme dan toleransi.
“Sejarah Indonesia mencatat harmoni antar umat. Jangan samapi ini rusak karena ISIS,” kata Gunawan kepada BeritaBenar tanggal 21 Mei.
Ia juga mengatakan fenomena tentang ISIS telah mengganggu perdamaian di Indonesia dan di dunia internasional.
"Masih banyak pemuda Islam yang memiliki idealisme tinggi, tapi tidak mengerti agama secara mendalam. Mereka ini yang digunakan sebagai senjata ampuh ISIS," katanya sambil mendorong agar setiap WNI bersikap waspada.
"Apa yang dilakukan ISIS sangat meresahkan. Ini bertentangan dengan prinsip keagamaan, nasionalisme dan toleransi yang ada di Indonesia,” kata Jenderal Moeldoko kepada BeritaBenar tanggal 21 Mei.
“Hilangnya rasa nasionalisme dan persatuan akan menjadi pintu masuk ideologi yang salah seperti yang disebarkan ISIS, karena itu bersatulah,” katanya.