Warga Banten kecam Bank Dunia karena dukung pembangunan pembangkit listrik batu bara

Ekspansi PLTU 9 dan 10 Suralaya disebut tidak beralasan, karena pasokan listrik di wilayah itu sudah cukup.
Arie Firdaus
2023.09.14
Jakarta
Warga Banten kecam Bank Dunia karena dukung pembangunan pembangkit listrik batu bara Seorang anak makan di rumahnya tidak jauh dari kompleks pembangkit listrik tenaga batu bara Suralaya di Cilegon, Banten, pada 14 September 2023.
Aditya Aji/AFP

Mewakili warga Banten, sejumlah lembaga swadaya masyarakat, pada Kamis (14/9) menyatakan keberatan kepada Bank Dunia karena dinilai secara tidak langsung mendanai perluasan pembangkit listrik tenaga batu bara yang berdampak buruk bagi lingkungan, kesehatan dan mata pencaharian masyarakat di wilayah itu.

Pengaduan yang diajukan beberapa lembaga internasional dan lokal, seperti Trend Asia, Inclusive Development International and Recourse, dan PENA Masyarakat, menduga bentuk dukungan tidak langsung Bank Dunia itu disebabkan karena anak lembaganya yakni International Finance Corporation (IFC) memiliki investasi ekuitas senilai USD15,36 juta (Rp236,3 miliar) pada Hana Bank Indonesia, yang merupakan salah satu pemodal proyek pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, di Cilegon, Banten.

Dalam keberatan yang disampaikan kepada Ombudsman IFC, warga meminta Bank Dunia untuk menghentikan pembangunan dua pembangkit baru yaitu PLTU 9 dan 10 dan memberikan ganti rugi yang adil bagi masyarakat atas dampak buruk yang sudah terjadi akibat keberadaan sejumlah unit pembangkit di Suralaya, kompleks pembangkit listrik tenaga batu bara terbesar di Asia Tenggara.

Gugatan itu merupakan laporan kedua yang dilayangkan masyarakat sekitar pembangkit, setelah gugatan ke Departemen Keuangan Amerika Serikat pada Agustus 2021.

"Ekspansi (PLTU) 9 dan 10 sama sekali tidak beralasan. Kebutuhan listrik di wilayah tersebut sudah terpenuhi dan jaringan listrik Jawa-Bali sudah kelebihan pasokan," kata Novita Indri, juru kampanye Energi Trend Asia dalam keterangan tertulis yang dikutip BenarNews pada Kamis.

Novita menambahkan bahwa pembangunan dua PLTU berkapasitas total 2.000 megawatt itu bakal menambah luas kompleks pembangkit itu hingga 50 persen sehingga akan menambah dampak buruk berkelanjutan bagi masyarakat seperti polusi, limbah beracun, masalah pernapasan, hingga debu batu bara.

"Hal ini (PLTU 9 dan 10) akan menghancurkan masyarakat lokal dan membawa dunia lebih dekat dengan bencana iklim, di mana Indonesia dan warganya sangat rentan terdampak,” ujarnya menambahkan bahwa keberadaan pembangkit listrik tersebut akan melepaskan sekitar 150 juta metrik ton karbon dioksida ke atmosfer selama 30 tahun ke depan.

Pengaduan tersebut juga menyebut bahwa pertanian dan perikanan di wilayah itu menjadi tidak bagus. Sejumlah warga telah diusir secara paksa tanpa kompensasi yang memadai untuk membangun pembangkit listrik yang baru, dan pantai yang tersisa di daerah tersebut telah dihancurkan, sehingga berdampak buruk bagi pariwisata dan bisnis lokal.

Menurut studi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA) yang dirilis minggu ini, kompleks Suralaya berdampak negatif terhadap kesehatan masyarakat, mengakibatkan biaya kesehatan tahunan sebesar lebih dari US$1 miliar. Kompleks ini juga berkontribusi terhadap kabut asap berbahaya di Jakarta, yang menduduki puncak daftar kota paling tercemar di dunia pada Agustus.

Seorang nelayan setempat menyalakan rokoknya, bersiap memancing di perairan dekat pembangkit listrik tenaga batu bara, di mana degradasi lingkungan berdampak pada kehidupan laut, di Suralaya, Cilegon, Banten, 10 Juli 2020. [Willy Kurniawan/Reuters]
Seorang nelayan setempat menyalakan rokoknya, bersiap memancing di perairan dekat pembangkit listrik tenaga batu bara, di mana degradasi lingkungan berdampak pada kehidupan laut, di Suralaya, Cilegon, Banten, 10 Juli 2020. [Willy Kurniawan/Reuters]

Beda antara teori dan praktek

IFC pada Maret lalu mengumumkan bahwa mereka akan berhenti mendanai proyek batu bara di berbagai negara agar selaras dengan Perjanjian Paris terkait iklim.

Kebijakan itu sempat memperkuat pernyataan pada 2019 yang menyebut bahwa IFC akan mengurangi keterlibatan secara bertahap dalam proyek batu baru hingga mencapai nol pada 2030 – yang dinamakan Pendekatan Ekuitas Hijau – namun proyek dua PLTU di Banten ini membalikkan pernyataan tersebut.

"Hal ini merupakan kebalikan dari apa yang diperlukan untuk mencapai target emisi nol bersih dan melanggar Perjanjian Paris," ujar Novita.

Peneliti dari Inclusive Development International, Sarah Jaffe, mengatakan pembangunan dua pembangkit ini memang tidak sejalan dengan standar lingkungan dan sosial Bank Dunia.

"Mempromosikan ekspansi batu bara bertentangan dengan misi IFC... Tanggung jawab IFC adalah membantu memperbaiki dampak buruk yang telah ditimbulkan,” kata dia.

Lembaga swadaya masyarakat lokal, PENA Masyarakat, menilai pembangunan PLTU 9 dan 10 hanya akan memperburuk lingkungan dan memperbesar potensi penyakit pernapasan.

"Konyol sekali jika perusahaan mengklaim proyek itu akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat," kata Direktur PENA Masyarakat, Mad Haer Effendi.

Penjabat Direktur Bank Dunia di Indonesia, Lestari Boediono Qureshi, tak berkomentar terkait hal ini. Dia meminta untuk mengirimkan pertanyaan melalui surat elektronik untuk diteruskan ke IFC, namun sampai saat ini IFC belum merespons.

BenarNews juga menghubungi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Hana Bank Indonesia, tapi belum mendapat jawaban.

Proyek PLTU 9 dan 10 di Suralaya dimiliki dan dikelola oleh PT Indo Raya Tenaga, bekerja sama dengan perusahaan Korea Selatan, Doosan Enerbility.

Kerja sama kedua perusahaan ditandatangani di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Jakarta minggu lalu disaksikan pemerintah Indonesia dan Korea Selatan.

Seusai penandatanganan nota kesepahaman itu, Presiden Direktur PT Indo Raya Tenaga, Peter Wijaya, mengatakan bahwa PLTU 9 dan 10 akan menjadi pembangkit hibrid pertama di Indonesia, memanfaatkan 60 persen amonia dan hidrogen hijau dalam proses produksi – sisanya menggunakan batu bara – sehingga diharapkan dapat lebih ramah lingkungan.

Distribusi belum merata

Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga mengaku dapat memaklumi pembangunan PLTU 9 dan 10 dalam perspektif upaya pemenuhan target 35 ribu megawatt yang dipatok Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada awal periode pertama kepemimpinannya.

Namun seiring produksi listrik yang kini telah melampau konsumsi, Daymas menilai pemerintah semestinya lebih berfokus pada distribusi listrik yang merata.

"Kalau di Jawa mungkin berlebihan (pasokan listrik), tapi di daerah-daerah kan belum. Perusahaan yang datang ke daerah, misalnya, sulit membangun smelter karena enggak ada pasokan listrik mumpuni," kata Daymas kepada BenarNews.

Merujuk data Kementerian ESDM, pembangkit listrik tenaga batu bara masih menjadi tulang punggung penyuplai setrum di Tanah Air.

Hingga 2022, kapasitas terpasang PLTU mencapai 42,1 gigawatt atau tumbuh 13,8 persen dibanding tahun sebelumnya – paling pesat dibanding pembangkit lain.

Pada November lalu, Indonesia menjadi negara kedua yang menandatangani Kemitraan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP) yang akan memberikan dana sebesar $20 miliar untuk membantu mengurangi ketergantungan negara-negara pada bahan bakar fosil, namun pengumuman rencana investasinya tertunda.

JETP memaksa Indonesia untuk memberlakukan moratorium terhadap pembangkit listrik tenaga batu bara baru, meskipun ada pengecualian untuk pembangkit listrik yang sudah ada yang melayani fasilitas industri.

Tria Dianti berkontribusi dalam laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.