Ratusan warga mengungsi usai TNI bentrok dengan separatis Papua
2024.06.18
Jayapura dan Jakarta
Sekitar 250 warga di Provinsi Papua Tengah berlindung di sebuah gereja setelah aparat keamanan terlibat bentrokan dengan separatis bersenjata setempat yang menewaskan dua orang gerilyawan, kata seorang pejabat militer Indonesia pada Selasa (18/6).
Situasi di Paniai bergejolak usai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) membakar sebuah mobil angkutan kota dan membunuh sopirnya di Kabupaten Paniai pada pekan lalu, kata Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam siaran pers. TPNPB adalah sayap bersenjata dari Organisasi Papua Merdeka (OPM).
TNI mengatakan pasukan keamanan kemudian melakukan pengejaran terhadap anggota TPNPB ke Distrik Bibida, Paniai, pada Jumat lalu dan menewaskan dua anggota kelompok separatis itu dalam kontak senjata pada Senin, kata Yogi.
Kepala Penerangan Komando Operasi Habema, Letkol Yogi Nugroho, mengatakan bahwa masyarakat Distrik Bibida mengajukan permohonan bantuan truk milik aparat keamanan untuk mengungsi sementara waktu ke Gereja Madi, Kampung Madi, Distrik Paniai Timur.
“Warga Bibida tidak pernah menerima kehadiran OPM di wilayahnya karena tindakan semena-mena serta aksi keji dan kejam oleh OPM selama ini dengan mengambil paksa hasil kebun, ternak dan bahkan beberapa anak perempuan warga,” ucap Yogi kepada BenarNews.
Salah satu anggota TPNPB yang ditembak mati diidentifikasi sebagai desertir TNI berpangkat prajurit dua bernama Danis Murib, kata Yogi.
Yogi mengatakan Murib merupakan anggota meninggalkan pos TNI di wilayah Distrik Kamu, Kabupaten Dogiyai pada April lalu.
"Keberhasilan Prajurit TNI menembak dua orang OPM, salah satunya desertir Danis Murib, di Bibida, telah mereduksi kekuatan OPM yang tentunya berdampak positif menjaga stabilitas keamanan demi kelancaran proses percepatan pembangunan di Papua," ucap Panglima Komando Gabungan Wilayah III Letjen TNI Richard Tampubolon dalam keterangannya.
Juru bicara TPNPB Sebby Sambom mengakui bahwa Murib adalah anggota mereka.
“Iya dia mantan anggota aktif TNI yang telah bergabung bersama TPNPB selama 4 bulan belakangan,” tutur Sambom kepada BenarNews.
Sambom membantah kelompoknya telah melakukan tindakan kriminal di Bibida yang membuat warga akhirnya mengungsi.
“Tidak benar itu. Itu kan propaganda TNI-Polri,” ujarnya kepada BenarNews.
Seorang aktivis hak asasi manusia di Papua, Yones Douw, menuduh kehadiran pasukan TNI di Bibida memicu rasa tidak aman di kalangan masyarakat Papua sehingga menyebabkan mereka mengungsi.
Dia juga mengatakan warga yang mengungsi berjumlah 574, bukan 250 seperti yang dikatakan TNI.
“Saya langsung tanya masyarakat Bibida, mereka katakan itu tidak betul, selama ini mereka tidak pernah mengambil hasil kebun, dan tidak pernah bunuh ternak,” ujar Yones.
Dia juga mengatakan TPNPB biasa membeli hasil perkebunan dan hasil bumi warga.
“Waktu masyarakat Bibida mengungsi, mereka permisi kepada TPNPB dan menitipkan pesan untuk menjaga kebun dan ternak mereka,” ucap Yones.
“TPNPB OPM mempersilahkan mereka untuk mengungsi karena Bibida akan dijadikan tempat perang,” tambah dia.
TPNPB-OPM dalam keterangannya pada Selasa juga menuduh TNI-Polri menewaskan seorang warga sipil bernama Pilemon Gobai akibat operasi penyisiran pada pekan lalu di Bibida.
Yogi mengakui bahwa pada Jumat aparat keamanan berhasil merebut wilayah Bibida yang selama ini dikuasai oleh OPM.
Dia mengatakan bahwa berdasarkan pantauan aparat keamanan bahwa para personel OPM yang mencoba mengganggu wilayah Bibida, menempatkan posisinya di hutan dan sekitarnya.
“Dengan demikian, apabila ada warga yang bergerak ke hutan Bibida, dapat dipastikan sebagai simpatisan atau anggota OPM," ujar Yogi.
Pada Sabtu lalu, TPNPB menembak mati seorang prajurit Praka Hendrik Fonataba di Kabupaten Puncak, Papua Tengah, kata TNI.
Amnesty International mencatat terjadi 82 kasus pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Papua sepanjang 2023, baik oleh aparat keamanan Indonesia maupun separatis bersenjata.
Papua resmi menjadi bagian dari Indonesia berdasarkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di bawah pengawasan PBB pada 1969 yang menyatakan rakyat Papua ingin bergabung dengan Indonesia.
Namun sebagian warga Papua dan pegiat hak asasi manusia memandang Pepera tidak sah lantaran hanya melibatkan sekitar seribu orang yang dipilih militer untuk mewakili 800.000 warga Papua saat itu.
Sejak saat itu, kekerasan dengan korban warga sipil, pasukan keamanan dan anggota separatis terus berlangsung di tengah konflik antara TNI dengan kelompok separatis bersenjata yang ingin melepaskan diri dari Indonesia.