WNI Ilegal di Filipina, Perjalanan Panjang Mendapatkan Kewarganegaraan
2018.01.15
Sarangani, Filipina selatan
Di desa terpencil Pangyan di ujung selatan Pulau Mindanao, Filipina, mimpi Kere Tahidaki untuk bertemu kembali dengan sanak keluarganya di Indonesia mungkin akan segera terwujud.
Tahidaki (68), dan keluarganya melintasi perbatasan laut dari Pulau Sangir di Provinsi Sulawesi Utara hampir setengah abad yang lalu untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Kenangan akan pelayaran empat hari itu tetap melekat di benaknya, saat dia dan sejumlah pemuda lainnya berdesakan dalam perahu kayu dalam perjalanan yang berakhir di Pangyan, sebuah desa pesisir di kota Glan, Mindanao.
Ia yang saat itu masih muda, mengenang kembali saat ia mulai bekerja sebagai nelayan dan kemudian bekerja di perkebunan kelapa.
Ia kemudian bertemu istrinya, juga seorang Indonesia, Aisyah, dan mereka memiliki 10 orang anak.
Tahidaki mengatakan bahwa ia masih bisa mengerti Bahasa Indonesia, namun bahasa ibunya itu sudah dipengaruhi dialek setempat.
"Orang Filipina memperlakukan kami dengan baik. Kami tidak memiliki masalah dengan tetangga kami dan kami mengikuti hukum di sini," katanya dalam bahasa Filipina.
Menahan rindu kampung halaman
Dia tidak pernah memiliki kesempatan untuk bertemu dengan orang tuanya dan 10 orang saudaranya yang lain.
Hidup terasa berat, dan menyeberangi lautan untuk bertemu orang tua dan keluarganya di Indonesia itu berarti membutuhkan uang yang tidak dimilikinya.
Kekhawatiran lainnya adalah jika ia bisa ke Indonesia, ia mungkin tidak bisa kembali ke Mindanao karena dia tidak memiliki dokumen resmi.
Tapi dengan kedua negara Filipina dan Indonesia bekerja sama dalam mengidentifikasi dan mendokumentasikan imigran ilegal seperti dirinya, Tahidaki mengatakan bahwa ada kemungkinan dia bisa bertemu keluarganya lagi.
"Saya telah kehilangan komunikasi dengan mereka. Saya merindukan orangtua saya dan saya berharap berada di samping mereka saat mereka membutuhkan saya," katanya kepada BeritaBenar.
"Saya ingat ibu saya mengatakan kepada saya saat hendak berangkat pulang, tapi saya tidak bisa kembali sampai saya menikah di sini," tambahnya.
Pemberontakan separatis
Tetangga Tahidaki, Martin Ampager, 64, yang juga berasal dari Pulau Sangir, mengatakan ia tiba di Glan pada tahun 1973 untuk alasan yang sama.
Dia mengatakan bahwa dia menginginkan kehidupan yang lebih baik, tapi seperti Tahidaki, ia tidak siap dengan pemberontakan separatis Muslim yang merebak di selatan.
Pertempuran menyebar seperti api, dan ini telah mempersulit upaya untuk berhubungan kembali dengan keluarga mereka di Indonesia.
Para migran Indonesia sebagian besar membentuk kelompok sendiri memisahkan diri dari para separatis, kata beberapa pejabat Filipina.
Namun demikian, militer mengatakan bahwa keturunan Indonesia mereka yang lahir di wilayah selatan Filipina diketahui telah bergabung dengan gerakan separatis Muslim, yang bertahan selama empat dekade berikutnya.
Ampager mengatakan bahwa dirinya tidak akan kembali lagi ke Indonesia. Ia merasa puas dengan kehidupan yang telah dijalaninya di tempat itu. Meski begitu, dia mengatakan memiliki dokumen resmi yang mengatakan bahwa dia orang Indonesia adalah sesuatu yang dia inginkan.
Kelima anaknya - semuanya lahir di selatan - sudah memiliki keluarga sendiri, dan telah berasimilasi dengan baik pada kehidupan lokal.
"Saya sudah tua dan kapan saja saya bisa mati. Saya tidak punya dokumen legal tapi kalau pemerintah Indonesia mau memberi paspor, saya sangat bersyukur," katanya.
Sudah seperti warga lokal
Kepala desa setempat Osman Salisilan mengatakan bahwa ada sekitar seratus keluarga migran Indonesia di desanya.
Banyak yang telah menyerap budaya lokal dengan baik, dan sudah seperti orang Filipina, kecuali jika mereka memperkenalkan diri, katanya.
"Kami memberikan mereka manfaat seperti asuransi kesehatan," kata Salisilan, "Anda tidak akan mengenali mereka sebagai orang Indonesia kecuali mereka mengenalkan diri mereka sendiri."
Sebagian besar orang Indonesia telah menjadi nelayan, meskipun ada beberapa petani dan bubar sebagai pegawai perusahaan lokal.
Mereka sebagian besar tidak memiliki catatan kriminal, kata Salisilan.
Kemlu berikan paspor
Dalam kunjungan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi pada 3 Januari 2018, 300 paspor telah diberikan secara simbolis kepada warga keturunan Indonesia di Mindanao untuk menangani status mereka yang sebelumnya tanpa kewarganegaraan.
Menlu Retno mengatakan sekitar 2.425 paspor sejauh ini telah diberikan kepada orang "murni" Indonesia. Sekitar 2.074 diketahui memiliki darah campuran Filipina-Indonesia, dan mereka bisa mendapatkan paspor mereka.
"Ini adalah hak dasar setiap orang untuk mendapatkan status kewarganegaraan mereka," Retno mengatakan kepada wartawan saat dia mengunjungi kota Davao di wilayah selatan, pada saat itu, dan bertemu dengan Presiden Rodrigo Duterte,
"Tanpa kewarganegaraan selalu membawa risiko karena mereka tidak tahu siapa yang akan melindunginya," kata Marsudi.
Pada tahun 2011, Komisaris Tinggi untuk Pengungsi Perserikatan Bangsa Bangsa melakukan pemetaan orang Indonesia di Mindanao, dan mendapati hampir 9.000 orang terdaftar sebagai orang-orang keturunan Indonesia.
Tahidaki mengatakan bahwa dia bersyukur atas campur tangan konsulat Indonesia dan berharap mereka segera diberi paspor.
"Saya ingin kembali ke tanah air untuk mencari kerabat saya," katanya.