Wiranto Sebut Mengajak Golput sebagai Mengacau

MUI mengatakan memilih pemimpin dalam perspektif Islam adalah kewajiban dan tanggung jawab seorang Muslim.
Ami Afriatni
2019.03.27
Jakarta
190327_ID_abstain_1000.jpg Sebuah mural di tembok berisi imbauan menggunakan hak pilih saat sosialisasi Pemilu di Manggarai, Jakarta, 9 Maret 2019.
Afriadi Hikmal/BeritaBenar

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto, menyatakan seseorang yang mengajak pihak lain untuk tidak memilih dalam Pemilu 2019, atau menjadi golongan putih (Golput), adalah pengacau dan bisa dikenakan sanksi seperti diatur Undang-undang.

"Itu kan sudah kita diskusikan. Kalau mengajak Golput, itu yang namanya mengacau. Itu mengancam hak dan kewajiban orang lain," katanya di Jakarta, Rabu, 27 Maret 2019.

Menurutnya, pihak-pihak yang mengajak Golput bisa dijerat dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Untuk itu, Wiranto mengajak masyarakat menggunakan hak pilihnya pada Pemilu yag digelar serentak pada 17 April mendatang.

"Kami imbau supaya jangan Golput. Itu yang saya terus menerus menyampaikan kepada masyarakat ayolah datang ke TPS, aman, aparat akan menjaga itu," ujarnya.

Namun, aktivis Koalisi Masyarakat Sipil, Alghiffari Aqsa Bachtiar, menyebut bahwa golput adalah reaksi dari sistem yang rusak atau tidak berjalan.

Koalisi Masyarakat Sipil adalah gabungan sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang mengampanyekan Golput merupakan hak warga negara dan bukan tindak pidana.

Terkait pernyataan Wiranto yang akan menjerat pihak yang mengajak Golput dengan proses hukum, Alghiffari menegaskan tidak ada pasal yang bisa menjerat Golput dan kampanye Golput.

"Apa yang disampaikan Menkopolhukam menurut saya justru hoax yang menakut-nakuti masyarakat untuk Golput dan kritis terhadap sistem politik,” katanya kepada BeritaBenar.

“Ada semacam kepanikan dari penguasa untuk menghadang Golput. Alih-alih berkomitmen untuk lebih baik dan membangun sistem yang lebih baik, penguasa justru berkampanye dengan menyebar rasa takut."

Golput, menurutnya, mengacaukan rasa nyaman para oligarki dalam sistem politik yang mereka buat dan jalankan sendiri.

Untuk itu, Alghiffari mengajak para calon presiden dan wakil presiden serta tim sukses mereka agar juga berkaca diri.

"Kontestasi yang mereka sedang lakukan justru menggunakan isu-isu yang memecah belah masyarakat dan membuat kacau masyarakat," tutupnya.

Sementara itu dari Papua dilaporkan kelompok pro pemisahan Papua dari Indonesia, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), telah mengimbau masyarakat di provinsi paling timur Indonesia itu untuk memboikot Pemilu 2019, seperti dikutip di laman Radio New Zealand.

“Pemilu ini bukan untuk masyarakat Papua – tapi untuk orang Indonesia,” demikian kata Benny Wenda, pemimpin ULMWP yang berdiam di Inggris.

Seorang perempuan memasukkan contoh surat suara saat berlangsung acara sosialisasi Pemilu di Manggarai, Jakarta, 9 Maret 2019. (Afriadi Hikmal/BeritaBenar)
Seorang perempuan memasukkan contoh surat suara saat berlangsung acara sosialisasi Pemilu di Manggarai, Jakarta, 9 Maret 2019. (Afriadi Hikmal/BeritaBenar)

Ingatkan fatwa MUI

Sementara itu, Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Asrorun Ni'am Sholeh kembali mengingatkan fatwa penggunaan hak pilih yang pernah dikeluarkan menjelang Pemilu 2014 lalu.

Menurutnya, memilih pemimpin dalam perspektif hukum Islam adalah kewajiban dan tanggung jawab baik dari segi keagamaan maupun kenegaraan setiap individu Muslim.

"Di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus ada pemimpin. Karenanya memilih pemimpin bagian dari kewajiban syar'i (syariat) untuk menjamin kemaslahatan publik," ujarnya kepada wartawan, Selasa, 26 Maret 2019.

Asrorun mengingatkan para pemilih untuk memilih pemimpin yang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Islam, yakni amanah (bisa dipercaya), fathonah (cerdas secara emosional, intelektual dan sosial), lalu tabligh (mampu mengemban dan menunaikan amanah).

"Kalau ada pemimpin seperti itu, memilihnya menjadi wajib. Jika ada pemimpin seperti itu tapi tidak dipilih atau jika seseorang memilih yang lain padahal orang yang memiliki syarat kepemimpinan tadi ada, maka memilih orang lain tersebut atau tidak memilih, itu hukumnya haram," tegasnya.

"Prinsipnya, memilih hak. Karenanya memilih pemimpin bagi individu Muslim hukumnya wajib. Kalau tidak memilih padahal ada orang yang memenuhi syarat, maka hukumnya haram."

Namun, Alghiffari menyebutkan fatwa MUI tidak efektif menekan angka Golput karena pada Pemilu 2014, angka Golput meningkat.

“Fatwa tersebut pada 2014 juga mendapat kritik dari banyak ahli," ujarnya.

Saat pemilihan legislatif 2014, jumlah pemilih yang tak menggunakan haknya mencapai 24,89 persen. Jumlah Golput lebih tinggi lagi ketika pemilihan presiden periode sama yang mencapai 29,01 persen.

Tak jauh berbeda saat pemilihan legislatif 2009, tatkala jumlah Golput mencapai 29,10 persen saat pemilihan legislatif. Dalam pemilihan presiden, golput tercatat sebanyak 28,30 persen.

Adapun dalam pemilihan terakhir di era Soeharto yakni pada 1997, angka Golput hanya sebesar 6,4 persen.

Alghiffari juga memprediksi angka Golput akan meningkat pada Pemilu 2019 mengingat sistem yang justru makin buruk dan strategi kampanye yang dibangun banyak merusak.

Golput, Alghiffari berdalih, justru memiliki manfaat untuk demokrasi.

"Dalam jangka pendek para kontestan akan berusaha lebih meningkatkan performa dan kualitas kampanyenya. Jangka panjang golput mampu mengubah sistem atau setidaknya tuntutan dari kelompok Golput menjadi standar dalam politik elektoral," ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.