Polri Periksa 17 WNI yang Dideportasi dari Turki
2017.01.23
Jakarta
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) masih terus memeriksa 17 warga negara Indonesia (WNI) yang diamankan pihak imigrasi Bandara Soekarno Hatta sesaat setelah mendarat dari Turki, Sabtu lalu, 21 Januari 2017.
“Masih dilakukan pemeriksaan secara intensif oleh Densus 88,” ujar Kabag Penerangan Umum Divhumas Polri, Kombes Pol Martinus Sitompul ketika dikonfirmasi BeritaBenar di Jakarta, Senin.
Dia menambahkan polisi belum menetapkan apakah ke-17 WNI yang dideportasi dari Turki tersebut ada kaitan dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) atau tidak.
“Ada waktu 7 x 24 jam untuk pemeriksaan, sebelum menentukan apakah dilanjutkan ke penyidikan atau tidak,” katanya.
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Umum Direktorat Jenderal Imigrasi, Agung Sampurno menjelaskan, 17 WNI itu tiba dengan penerbangan Turkish Airlines TK 056, pukul 18.10 WIB Sabtu lalu.
“Ini hasil kerjasama operasi intelijen antar-instansi terkait. Kami mendapatkan informasi sebelum mereka ditangkap,” jelasnya saat dihubungi.
Dari dokumen perjalanan, diketahui mereka – termasuk delapan perempuan dan enam anak-anak – berasal dari Padang, Pandeglang, Banten, Makassar, Malang, Lampung, Gowa, dan Jakarta.
Kabid Humas Mabes Polri, Irjen Pol Boy Rafli Amar mengatakan pihaknya saat ini masih menyelidiki keterkaitan 17 WNI ini dengan sejumlah kelompok yang terlibat konflik di Suriah melalui kerjasama dengan otoritas Turki.
“Penahanan ini berdasarkan laporan otoritas Turki. Paling tidak dalam 1-2 hari ke depan baru diketahui hasilnya (terkait ISIS atau tidak),” katanya kepada wartawan.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) hingga Agustus 2016, terdapat 237 WNI dewasa dan 46 anak-anak asal Indonesia berada di Suriah dan 283 lainnya dideportasi dari beberapa negara, terutama Turki.
Tanggapan pengamat
Pakar terorisme dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya menduga ke-17 WNI ingin ke Suriah di wilayah kekuasaan ISIS dengan niat hijrah.
“Artinya pindah menjadi bagian dari Daulah (Negara) yang di deklarasikan ISIS,” katanya.
Menurutnya, ekonomi tidak lagi menjadi faktor pendukung ISIS dari Indonesia ke Suriah.
“Faktor keyakinan yang mendorong mereka membuat pilihan untuk pindah. Disamping konskuensi keyakinan mengharuskan mereka untuk tunaikan kewajiban hijrah," ujarnya.
“Beberapa di antara mereka yang memenuhi syarat juga akan ikut bertempur.”
Tapi hal berbeda dikatakan pengamat terorisme dari Universitas Indonesia (UI), Ridlwan Habib.
Menurutmya, berdasarkan informasi sejumlah pihak, rombongan itu akan bergabung ke kelompok oposisi pemerintahan Presiden Bashar Al Assad.
“Mereka merasa Aleppo begitu tertindas sehingga berangkat,” katanya.
Hal seperti ini, tambahnya, sulit dikaitkan dengan terorisme.
“Mereka anti ISIS. Orang ini memang mau berperang di Suriah, yang mereka anggap lahan berperang, bukan di Indonesia. Sangat berbeda dengan ISIS yang menganggap semua pemerintahan di dunia adalah musuhnya,” ujarnya.
Seharusnya, ujarnya, Indonesia memiliki clearing house di bandara untuk menentukan seseorang berbahaya atau tidak karena selama ini mereka hanya mengandalkan laporan dari otoritas luar negeri.
“Kelemahan itu ada di pemerintah ya, tidak ada satu elemen, instansi yang kemudian menjadi pihak yang berwenang mengatasi orang-orang semacam ini. Saat ini alurnya masih tidak jelas,” kata Ridlwan.
Dalam clearing house tersebut, lanjutnya, bisa diisi oleh berbagai unsur seperti Imigrasi, Kemlu, BNPT, dan pakar yang paham keadaan Timur Tengah, khususnya Suriah.
“Sehingga orang yang pulang dari Suriah tidak begitu saja dicap jelek oleh masyarakat karena belum tentu dia teroris,” katanya.
Rupiah
Sementara itu, otoritas Indonesia sampai saat ini masih menyelidiki ditemukannya mata uang Rupiah dalam penangkapan pelaku penembakan klub Reina di Istanbul Turki, pada Tahun Baru.
Deputi II BNPT, Irjen Pol Arif Darmawan mengatakan pihaknya masih menyelidiki kasus penemuan tersebut.
“Sampai saat ini belum jelas dan masih dikordinasikan,” katanya melalui pesan singkat.
Laman dailymail.co.uk pada 19 Januari lalu memberitakan bahwa adanya mata uang Malaysia dan Indonesia (RM1 dan pecahan Rp2,000 dan Rp10,000) beserta sejumlah catatan di apartemen dimana Abdulkadir Masharipov dan 4 lainnya ditangkap polisi Turki.
Pihak keamanan Turki mengidentifikasi Masharipov berasal dari Uzbekiztan dan pernah dilatih ISIS di Afganistan.
Apakah ada kemungkinan pelaku pernah ke Indonesia, Martinus mengatakan pihaknya harus berkordinasi dengan berbagai pihak seperti otoritas Turki dan imigrasi terkait hal tersebut.
“Akan kami cek dulu, ini harus tanya ke otoritas Turki, imigrasi dan lain-lain,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, Ridlwan menilai gambar dan informasi tersebut masih sumir dan pemerintah tidak perlu paranoid atas pemberitaan tersebut.
“Saya kira mereka lebih berinteraksi dengan gerilyawan WNI di Suriah, kemudian ada tukar uang. Itu lazim di kalangan kombatan sebagai tanda persahabatan,” katanya.
“Kalau sampai (pernah) berkunjung ke Indonesia, saya rasa sulit sekali ke sini.”
Harits juga menyatakan hal senada.
“Bukan berarti punya Rupiah kemudian yang bersangkutan pernah berkunjung ke sini. Bisa saja saling tukar antar teman, itu biasa,” pungkasnya.