Peran Ganda Perempuan Dalam Menangkal Terorisme

Perempuan bisa melakukan beberapa hal sederhana untuk menangkal paparan paham radikal dalam keluarganya.
Kusumasari Ayuningtyas
2018.01.25
Klaten
180125-ID-terror-620.jpg Suasana seminar ‘Pencegahan Radikalisme, Ekstrimisme dan Terorisme Bagi Masyarakat Desa Serta Optimalisasi Peran Perempuan’ di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, 23 Januari 2018.
Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar

Peran perempuan dalam aksi terorisme yang tak sebatas korban, tapi justru ikut sebagai aktor utama membuat Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Hamli mewanti-wanti kaum ibu agar menjadi penangkal virus radikal dalam keluarga.

Menurutnya, kondisi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang terjepit di Timur Tengah sejak akhir 2017 membuat mereka mengeluarkan instruksi ke para perekrut simpatisan kelompok teroris itu untuk kembali ke negara masing-masing.

“Wanita juga akan jadi sasaran perekrutan,” katanya pada seminar ‘Pencegahan Radikalisme, Ekstrimisme dan Terorisme Bagi Masyarakat Desa Serta Optimalisasi Peran Kelompok Perempuan’ di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, Selasa, 23 Januari 2018.

“Wanita dinilai mampu mengelabui dan tidak mudah dicurigai, terutama ketika mereka menjadi calon pengantin bom bunuh diri,” tambahnya.

Ia mengingatkan kasus penangkapan dua perempuan calon pengantin bom tahun 2016, Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari.

Dian ditangkap Densus 88 di Bekasi karena diduga akan melakukan aksi di Istana Negara, sementara Ika diciduk di Purworejo, Jawa Tengah, dengan dugaan mau meledakkan diri di Bali.

Jika sebelumnya perempuan terlibat tidak langsung seperti menyembunyikan suaminya yang terlibat terorisme, Dian dan Ika secara sadar dan aktif ikut terlibat.

“Wanita sekarang tidak hanya sebatas korban tapi juga mediator dan perancang bom,” tutur Hamli.

Direktur Mitra Wacana Woman Resource Center (WRC), Rindang Farihah menyebutkan awalnya perempuan mengikuti jejak pria dalam keluarga yang terlibat dalam terorisme, namun akhir-akhir ini terlibat semakin jauh.

“Mungkin awalnya mereka pengikut, lama-lama bisa menjadi perekrut atau penggalang dana,” ujarnya dalam seminar tersebut.

Seorang peserta, Widayati (45) mengatakan banyak hal yang sebelumnya tak pernah dia pikirkan dan hal biasa saja ternyata harus diwaspadai setelah mengikuti seminar itu.

“Jadi tahu, bagaimana dan kenapa kita harus tetap menjaga komunikasi dan mengawasi anak-anak dengan baik dan tahu siapa saja temannya," katanya.

Tindakan konkrit

Perempuan dan anak-anak sebagai kaum yang rentan sasaran perekrutan jaringan teror, kata Hamli, bisa diminimalisir jika wanita dalam keluarga melakukan beberapa tindakan sederhana tapi dianggap efektif untuk menangkal paparan paham radikal.

Sosok perempuan yang memiliki posisi strategis dalam keluarga diminta selalu menjaga komunikasi dengan seluruh anggota keluarganya sehingga tercipta saling percaya dan terbuka.

“Keterbukaan akan meruntuhkan doktrin terorisme yang bisa diindikasikan dengan pola pikir ekstrim dan tidak rasional,” katanya.

Seorang ibu, tambahnya, juga harus membuka diri atas berbagai informasi di sekitarnya dengan ikut perkumpulan organisasi umum seperti Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) atau organisasi keagamaan yang terbuka.

Dengan begitu, ketika latar belakang pendidikan dan pemahaman agama seorang ibu baik, dia bisa menjadi penetralisir paham ekstrim di keluarganya.

“Ibu juga diharapkan tegas melakukan pengawasan terhadap pemakaian gawai anggota keluarganya,” papar Hamli.

Disebutkan bahwa doktrin dari perekrut jaringan teroris banyak ditemui di media sosial, yang menurut data Polri, terdapat ribuan akun penebar hoax yang memicu munculnya simpatisan teroris untuk diwaspadai.

Dia berharap kaum ibu perlu melek teknologi dan memiliki akun media sosial. Tujuannya walau sekadar untuk mengecek pergaulan anaknya dan anggota keluarga lain di media sosial.

“Pengawasan orang tua sangat penting untuk mencegah anaknya terlibat terorisme,” ujar Hamli.

Peserta seminar lain, Dewi Susilowati (38) mengaku ia telah membiasakan anak-anaknya untuk izin dulu sebelum keluar rumah.

“Pergaulan media sosial saya tahu karena saya juga punya, saya juga minta handphone tidak dipassword supaya saya bisa cek,” jelasnya.

“Selama ini khawatirnya pergaulan bebas, ternyata radikalisme harus juga waspada.”

Kepala Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme Daerah Istimewa Yogyakarta, Abdul Muhaimin, melihat perempuan dalam rumah tangga merupakan sosok penting untuk menjaga agar tidak terpapar radikalisme.

Menurutnya, ibu harus menjadi role model dalam keluarganya, sehingga yang lain akan mengikuti apa yang dicontohkan perempuan.

“Kualitas generasi itu berada di tangan ibu terutama di masa sekarang ketika kehidupan sosial semakin terbuka luas,” ujarnya.

Sebagai tempat pembelajaran pertama, terutama bagi anak-anaknya, seorang ibu juga diharapkan memiliki pemahaman yang baik tentang agama.

Dengan posisinya sangat strategis dalam keluarga, perempuan mampu mengarahkan anggota keluarga untuk mengikuti prinsip-prinsip agama yang benar.

Muhaimin mengatakan, sekarang simbol-simbol keagamaan sering digunakan untuk hal-hal politis.

Wacana keagamaan yang muncul juga sangat parsial karena hal itu disesuaikan dengan tujuan politis ingin dicapai sehingga riskan jika referensi agama sangat terbatas.

“Di sinilah peran keluarga, dan utamanya ibu, sangat penting untuk menjernihkan hal-hal tersebut, bahwa agama sebetulnya memiliki ajaran sangat universal, agama menjadi faktor untuk mengangkat nilai kemanusiaan,” pungkas Muhaimin.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.