Pemerintah Didesak Ratifikasi Konvensi PBB Tentang Pengungsi
2016.06.21
Jakarta

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak pemerintah untuk meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tahun 1951 tentang Status Pengungsi sebagai dasar hukum penanganan pencari suaka yang banyak terdampar di Indonesia.
Desakan itu dikatakan Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat pada peringatan Hari Pengungsi Dunia di kantor Komisariat Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) Indonesia di Jakarta, Senin, 20 Juni 2016.
"Komnas HAM mendesak Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi PBB 1951 tentang Pengungsi dan Protokol 1967," ujarnya, merujuk pada protokol amandemen penghapusan batasan geografis dan waktu di Konvensi 1951 sehingga sifatnya menjadi universal.
"Bila Indonesia meratifikasi konvensi dan protokol, maka partisipasi Indonesia [dalam penanganan pengungsi] akan lebih kuat, intens dan akuntabel kepada PBB," tambah Imdadun ketika ditanya BeritaBenar usai acara.
Febi Yonesta, ketua jaringan masyarakat sipil sukarela Suaka, yang beranggotakan individu dan organisasi yang bekerja bagi perlindungan hak-hak pencari suaka dan pengungsi di Indonesia, mendukung pernyataan Ketua Komnas HAM.
“Ini waktunya Indonesia menunjukkan komitmennya untuk meratifikasi konvensi sesuai rencananya dulu,” ujar Febi kepada BeritaBenar.
Menurutnya, Indonesia telah dua kali merencanakan meratifikasi konvensi tersebut pada 2009 dan 2014 namun rencana itu belum terlaksana hingga sekarang. Selama belum ada dasar hukum, penanganan pencari suaka dan pengungsi di Indonesia dilaksanakan lebih atas dasar kemanusiaan.
Siapkan Perpres
Direktur HAM pada Kementerian Luar Negeri, Dicky Komar mengungkapkan, proses ratifikasi perlu kesepakatan yang melibatkan semua pihak terkait.
"Sejauh ini belum ada kesepakatannya. Prosesnya masih terus bergulir," ujarnya saat dikonfirmasi BeritaBenar di sela-sela acara peringatan Hari Pengungsi Dunia yang diadakan di Goethe Institute, Jakarta.
Dicky menambahkan, pemerintah terus membahas penerbitan Peraturan Presiden tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi yang akan menjadi dasar hukum penanganan mereka di Indonesia, selama belum meratifikasi Konvensi 1951.
Status rancangan peraturan presiden (Perpres) saat ini telah dikembalikan kepada Kementerian Luar Negeri sebagai pengusul dan sedang dalam proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM dengan beberapa kementerian serta lembaga terkait.
Rancangan Perpres merupakan amanat Pasal 27 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, yang akan mengatur substansi masalah dalam penanganan para pencari suaka dan pengungsi, tempat penampungan, perawatan, pengamanan, pengawasan, pembinaan dan anggaran.
"Mudah-mudahan tahun ini bisa terealisasi. Selama ini meskipun Indonesia bukan negara pihak dalam konvensi, kita tetap mempraktikkan prinsip-prinsip yang ada dalam konvensi saat menangani pengungsi dan pencari suaka di Indonesia," ujar Dicky.
Penghargaan
Perwakilan UNHCR di Indonesia, Thomas Vargas menyambut baik pembahasan Perpres itu dan berterima kasih atas kebaikan Pemerintah Indonesia selama ini dalam penanganan pengungsi.
“Ini menunjukkan komitmen Pemerintah Indonesia untuk terus menyediakan perlindungan bagi pengungsi dan pencari suaka,” ujarnya.
UNHCR juga memberikan penghargaan untuk sejumlah pihak yang membantu para pengungsi, yaitu Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) yang punya satuan khusus lintas departemen dalam penanganan pengungsi di Indonesia, Dompet Dhuafa, Komnas HAM, Palang Merah Indonesia, Roshan Learning Center dan Suaka.
Menko Polhukam Luhut Pandjaitan dalam sambutan yang dibacakan Deputi Bidang Politik Luar Negeri di Kemenko Polhukam, Lutfi Rauf, mengatakan, meski jumlah migran telah melebihi kapasitas untuk menampungnya dan tidak ada kewajiban seperti diatur dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967, Indonesia terus memenuhi kewajiban moral untuk menampung mereka.
Lutfi mengatakan hingga 31 April 2016, terdapat 13.745 migran asing yang tinggal di Indonesia, terdiri dari 6.569 pengungsi dan 7.176 pencari suaka.
“Walaupun ada keperluan mempercepat proses untuk para pengungsi, UNHCR dan lembaga-lembaga terkait juga harus lebih memperhatikan masalah keamanan,” ujarnya.
“Ada pertanyaan apakah mereka benar-benar pengungsi atau migran karena kebutuhan ekonomi atau bahkan mempertanyakan apakah mereka pejuang teroris asing yang mencoba menyusup ke negara-negara lain,” tambahnya.
Hari Pengungsi Dunia juga diramaikan dengan pertunjukan budaya dan pertemuan komunitas pengungsi dan pencari suaka dari berbagai negara dan kelompok etnis di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.
“Kami berharap negara-negara seperti Amerika Serikat, Kanada atau Australia dapat segera menerima kami,” ujar Bagherian, warga Iran yang sudah mendapatkan status pengungsi UNHCR selama tiga tahun setelah meninggalkan negaranya karena berpindah agama dari Islam ke Kristen Protestan.