Ketika Intoleransi Mengusik Yogyakarta
2016.05.06
Yogyakarta

Lois Nur Fathiarini sedang asyik memantau grup WhatsApp untuk merasakan kegembiraan acara yang digelar pada tanggal 3 April 2016 malam itu, meski ia sudah pulang ke rumah.
Putra sulungnya yang terkena demam memaksanya meninggalkan Lady Fast, acara yang digagas bersama rekan-rekan seniman dan aktivis yang tergabung dalam kelompok Kolektif Betina itu, lebih awal.
Acara yang pertama kali digelar di bengkel seni Survive!garage di daerah Bantul, Yogyakarta, itu seharusnya makin malam semakin seru dengan penampilan band-band musik, setelah seharian diisi workshop kerajinan tangan dan diskusi bertema perempuan.
Survive!garage adalah ruang mandiri untuk mewadahi para seniman bergerak dan berkarya.
Betapa kagetnya Lois, ketika sekitar pukul 22.30, kawan-kawan dari grup WhatsApp-nya mengabarkan bahwa acara berubah menjadi mencekam saat sekelompok massa masuk dan berteriak, “Allahuakbar!”
Peserta acara yang kebanyakan perempuan merasa takut. Kepada Lois mereka bercerita bahwa mereka berusaha menghadapi kelompok massa berjumlah belasan orang itu dan menanyakan maksud kedatangan mereka. Panitia pelaksana sepakat tak melanjutkan acara yang dijadwalkan berlangsung dua hari.
“Apa kami terlalu ribut? Tapi kalau terlalu ramai, acara-acara sebelumnya juga ramai. Ada acara-acara musik juga, tapi tidak jadi masalah,” tukas Lois ketika ditemui BeritaBenar di sebuah kafe di Yogyakarta, Sabtu, 30 April lalu.
Kota pendidikan yang memiliki motto,” Yogya Berhati Nyaman” ini, tampak semakin tidak toleran. Sebelum Lady Fast, Pondok Pesantren Waria Al Fatah juga dibubarkan Februari lalu. Tanggal 3 Mei lalu, giliran Peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia yang dibubarkan massa.
Malam itu, para jurnalis di Yogyakarta hendak memutar film dokumenter “Pulau Buru Tanah Air Beta” di Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, ketika polisi dan massa Forum Komunikasi Putra-putri Purnawirawan TNI/Polri (FKPPI) datang untuk menghentikan acara.
Teriakan-teriakan seperti “Kalau tidak bisa dibina, diratakan wae!” dan “Bubarkan propaganda komunis!” terdengar dari kelompok yang memprotes saat itu.
Usai negosiasi alot, panitia sepakat menghentikan acara itu. Pemutaran film pun batal. “Kita telah melawan ketakutan. Hasil hari ini bukan kekalahan. Ketakutan hanya akan memperpanjang perbudakan,” ucap Ketua AJI Yogyakarta, Anang Zakaria.
Salah satu sudut pameran karya seniman di Yogyakarta, 30 April 2016. (Zahara Tiba/BeritaBenar)
Negara harus mediasi
Guru Besar Sosiologi Universitas Gadjah Mada, Sunyoto Usman, menilai maraknya kelompok intoleran merupakan buntut dari banyaknya pihak yang terlalu liberal memaknai kebebasan yang tumbuh pasca tumbangnya pemerintahan Orde Baru.
Meski sudah lama dikenal sebagai kota toleran, Sunyoto mengakui Yogyakarta ternyata tak terlepas dari cengkraman aksi intoleran.
“Negara seharusnya hadir mengembangkan lebih banyak lembaga mediasi. Beberapa elit sebenarnya telah mengembangkan lembaga-lembaga semacam itu, hanya hasilnya belum terasa,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Untuk mengatasi masalah kelompok intoleran, dia mengusulkan pentingnya pengembangan beberapa upaya.
“Narasi Yogyakarta sebagai miniatur Indonesia kurang diartikulasikan. Kampus-kampus seharusnya berperan aktif, tak hanya fasih mengembangkan komoditas perguruan tinggi,” tambahnya.
Sunyoto juga memaparkan pentingnya penguatan ideologi, interdependensi ekonomi, dan afiliasi silang, agar pembangunan tidak selalu memukul mereka yang terpinggirkan.
Warga merasa jengah
Sebagian masyarakat Yogyakarta merasa jengah dengan aksi intoleran seperti itu. Aji (32) adalah warga yang merasa kehadiran kelompok intoleran mengganggu ketentraman hidup masyarakat di Yogyakarta.
“Beberapa waktu lalu, dekat rumah saya, FPI (Front Pembela Islam) berulah. Warga sudah kesal. Mereka akhirnya sepakat menurunkan spanduk-spanduk yang dipasang kelompok itu. Kami menolak keberadaan mereka karena mengganggu ketenangan,” ujarnya.
Sementara itu, sebagai seniman pendatang yang sudah menyatu dengan Yogyakarta, Lois pun turut merasa terjepit.
“Aku asli Tangerang, tapi sudah sepuluh tahun tinggal di sini. Alasan aku pindah ke Yogya karena mau bebas berekspresi dalam seni. Ruang-ruang berekspresi lebih banyak dan lebih toleran di sini,” kenangnya.
“Tapi sekarang memang terasa sekali Yogya semakin intoleran, jadinya kalau mau berkarya harus mikir-mikir lagi,” keluhnya, “mau tidak mau kami harus berpikir ke depannya dalam berkarya, karena ancamannya tidak main-main.”