Gawai, ‘Pesta Kota’ Wujud Syukur Ala Dayak
2016.05.25
Pontianak
Jika leluhur orang Dayak menggelar “gawai” atau “naik dango” sebagai tradisi setelah panen, kini generasi penerus mengadopsinya menjadi sebuah "pesta kota".
Secara historis, gawai merupakan tradisi tua sebagai wujud syukur atas kemurahan Jubata (Tuhan) yang melimpahkan hasil panen pertanian.
Sejak 30 tahun lalu, Sekretariat Bersama Kesenian Dayak Kalimantan Barat menjadikan kegiatan ini sebagai agenda tahunan yang tercatat dalam kalender wisata provinsi.
Pada debut tahun 1986, gawai Dayak hanya berupa pentas seni semalam. Sejak 1992, berubah nama menjadi Pekan Gawai Dayak yang digelar sepekan.
Tahun ini, ribuan orang – termasuk ratusan warga Dayak dari Sarawak dan Sabah, Malaysia, menyaksikan pesta yang digelar sejak 20 hingga 27 Mei itu, dipusatkan di Rumah Radakng – replika rumah panjang Dayak di Kota Pontianak.
"Kami menikmati perayaan pesta Dayak yang begitu meriah, sekaligus mempererat tali persaudaraan antar-bangsa serumpun. Banyak hal bisa kami pelajari, termasuk melibatkan orang-orang muda untuk berperan serta seperti di sini," ujar Aga Mideh, warga Kuching, Malaysia, kepada BeritaBenar.
Gawai tidak lagi eksklusif hanya untuk komunitas Dayak, seperti ratusan tahun lalu. Tradisi ini telah bermetamorfosa menjadi "pesta kota", yang membuat banyak orang dari berbagai etnis dan golongan menjadi satu, menikmati seni dan budaya warisan leluhur.
Orang-orang seakan “berwisata ke masa lampau”, karena mereka bisa menyaksikan aneka aktivitas yang tak bisa dijumpai sehari-hari. Misalnya, orang berbusana dengan bahan kulit kayu dihias aneka bulu burung, tarian kolosal, menumbuk dan menampi padi sebagai cara tradisional nenek moyang mengolah hasil ladang, hingga perempuan membuat kain tenun.
Dan kini gawai pun digelar kembali, seperti kebiasaan sekitar 300 sub suku di kampung mereka, sebagai perwujudan syukur yang diajarkan nenek moyang mereka.