Sentuhan Tradisi Kalimantan yang Bernilai Ekonomis
2017.08.11
Pontianak
Jemari Tumbik (19) lincah berpadu dengan kerumitan dan ketelitian menjalin bilah-bilah halus, membentuk lingkaran bermotif. Sebagian pengunjung pameran budaya di Rumah Radakng—replika rumah betang Dayak di Pontianak— mencermati kesibukan gadis asal pedalaman Kalimantan Barat, akhir Juli lalu.
Mengira ukuran pergelangan tangan berdiameter sekitar 7 cm dengan bilah bambu tipis 1 cm, melapisinya dengan jalinan bilah resam (semacam pakis) dipadu bilah halus rotan, dianyam menyilang membentuk motif. Dalam satu jam, jadilah gelang rotan mungil dan indah.
Gadis dari Desa Banua Tengah, Kabupaten Kapuas Hulu itu, adalah satu dari banyak perempuan yang menggunakan bahan-bahan dari alam untuk membuat berbagai aksesoris, souvenir, maupun perabot rumah tangga.
“Saya belajar dari keseharian ibu-ibu dan mencoba sendiri. Bahan-bahannya ditemukan di hutan sekitar rumah,” tutur Tumbik kepada BeritaBenar.
Ronny Christianto, Manajer Kantor Wilayah Yayasan Kehati, menyebut bahwa pihaknya bermitra dengan tujuh lembaga lokal, mendampingi para pengrajin lima desa di Kapuas Hulu, memberi berbagai pelatihan dan membantu pemasaran melalui jaringan mereka.
“Disebut produk hijau karena pengrajin tidak mengambil bahan berlebihan dari alam. Regenerasi bahan cepat jika ditanam. Seperti tumbuhan resam sebenarnya tumbuhan liar yang tidak berharga, tetapi menjadi bernilai jika dijadikan souvenir,” katanya.
Sejumlah LSM konsen mendampingi masyarakat menciptakan alternatif pendapatan di luar rutinitas harian. Aktivis Yayasan Dian Tama Pontianak, Alfeus Krispinus, menyatakan bahwa 50-an petani tiga desa di pedalaman Kapuas Hulu, telah disentuh program ini.
Sebagai contoh, daun perupuk (semacam pandan hutan) lebih populer sebagai bahan tikar, kini dikembangkan ke produk-produk seperti tas dan sampul buku.
“Mereka dimotivasi menanam bahan baku di sekitar rumah, supaya tidak terus-terusan mengambil dari alam, sehingga usaha ini bisa berkelanjutan,” tutur Krispinus.