Semangat Menyadap Karet di Morowali Utara

Keceriaan petani karet itu kembali muncul seiring tingginya harga ditambah dengan rencana pemerintah daerah Marowali Utara membangun pabrik pengolahan.
Keisyah Aprilia
2017.06.09
Palu
FOTO-1.JPG

Pengendara sepeda motor melintasi areal perkebunan karet plasma di Kecamatan Lembo Raya, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah. (Keisyah Aprilia/BeritaBenar)

FOTO-2.JPG

Patwel Balende sedang membuat jalur penyadapan. (Keisyah Aprilia/BeritaBenar)

FOTO-3.JPG

Patwel Balende sedang membuat jalur penyadapan. (Keisyah Aprilia/BeritaBenar)

FOTO-4.JPG

Getah menetes ke dalam kaleng penyadapan. (Keisyah Aprilia/BeritaBenar)

FOTO-5.JPG

Ahmad memperlihatkan getah yang telah jadi karet mentah. (Keisyah Aprilia/BeritaBenar)

FOTO-6.JPG

Karet mentah disatukan dalam lubang penampungan. (Keisyah Aprilia/BeritaBenar)

FOTO-7.JPG

Patwel Balende memperbaiki penutup lubang karet mentah. (Keisyah Aprilia/BeritaBenar)

FOTO-8.JPG

Membuat jalur penyadapan. (Keisyah Aprilia/BeritaBenar)

FOTO-9.JPG

Petani perempuan, Yulimin Ganse, melakukan penyadapan. (Keisyah Aprilia/BeritaBenar)

FOTO-10.JPG

Alat penyadapan karet. (Keisyah Aprilia/BeritaBenar)

Di bawah mentari yang belum terik, Patwel Balende penuh semangat menuju kebun karetnya. Sesampai di kebunnya di Desa Pa’awaru, Kecamatan Lembo Raya, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah itu, dia langsung bekerja membuat jalur penyadapan di pohon karet. ­

Senyumnya merekah saat memperhatikan lateks (getah) yang telah menjadi lum (karet mentah). Hal yang sama juga terlihat di wajah Ahmad, petani lain.

Mayoritas warga desa berpenduduk 8.402 orang itu memang berprofesi sebagai petani karet. Perkebunan karet di Morowali Utara, khususnya di Lembo Raya, masuk sejak awal 1987.

Perkebunan karet terus berkembang setelah masuknya PT Perkebunan Nusantara 23 milik negara yang sekarang menjadi PT Perkebunan Nusantara 14, awal 1990. Masyarakat diberi kesempatan mengelola perkebunan melalui tanaman plasma yang disiapkan perusahaan.

Asam garam telah dirasakan mereka yang setia menjalani profesi itu. Patwel dan warga lain pernah merasakan tahun-tahun harga lum yang tinggi. Namun, tidak sebentar pula mereka pernah sengsara.

Tahun 1994 adalah masa saat mereka harus menanggalkan perkebunan karet. Hanya segelintir warga bertahan menjadi petani karet. Alasannya bukan hasil panen tidak baik, melainkan harga jual yang rendah hingga memaksa warga beralih menjadi petani kakao dan sawit.

"Di awal-awal itu harga tinggi mencapai Rp23 ribu per kg. Setelah itu turun jadi Rp7.500 per kg hingga ke harga terendah Rp5.000 per kg. Kemudian banyak petani yang berhenti mengurus karet," kenang Patwel.

Kini warga kembali bersemangat menjadi petani karet seiring tingginya harga yakni di kisaran Rp10 ribu – Rp12 ribu per kg. Semangat mereka terkatrol dengan rencana pemerintah daerah mendirikan pabrik pengolahan.

"Sudah lama kami menginginkan ada pabrik di sini. Sekarang alhamdulillah pemerintah sudah merencanakan pembangunan pabrik itu," kata seorang tokoh masyarakat Lembo Raya, Isro’i.

Pembangunan pabrik termasuk dalam kontrak politik pasangan calon bupati dan wakil bupati Morowali Utara yang kemudian terpilih. Kini warga berharap kontrak politik itu segera terwujud.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.