Lombok Setelah Gempa 7 SR
2018.08.07
Mataram
Malam ketiga setelah gempa berkekuatan 7 Skala Richter (SR) mengguncang Lombok dan sekitarnya, suasana Kota Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat (NTB), lebih lengang dari biasanya. Mulai pukul 20.00 WITA, jalanan terlihat lebih sepi, termasuk pada Selasa, 7 Agustus 2018.
“Warga lebih memilih tinggal di rumah sama keluarga untuk jaga-jaga,” kata Fajaruddin, seorang warga di Pejanggik, Mataram.
Sebagian besar warga memilih berkemah di tanah terbuka, seperti di halaman rumah, lapangan, atau sawah. Pada malam hari mereka tidur di tenda, begitu siang beraktivitas seperti biasa di rumah.
“Tapi ini belum ada bantuan apapun. Masih beli mie sendiri untuk makan sehari-hari,” kata Roidah, warga yang mengungsi di kawasan Monjok Culik, Mataram.
Suasana hiruk pikuk justru terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Mataram. Tak hanya dalam rumah sakit, di halaman pun penuh dengan tenda untuk merawat korban gempa berkuatan yang terjadi pada Minggu, 5 Agustus pukul 19:46 WITA.
Salah satu di antara mereka adalah keluarga Muhammad Sayidu Abadi, yang mengalami patah tulang pada kaki setelah terkena runtuhan tembok di tempat kerjanya di Gili Air.
Senin malam, lima anggota keluarganya menunggui Sayidu yang ditidurkan di kasur di lantai tanah.
“Sekarang pasrah saja. Masih untung sudah selamat dari gempa,” kata Sayidu.
Lebih dari 300 kali gempa susulan terjadi setelah gempa pertama dengan skala 6,4 SR mengguncang Lombok pada Minggu, 29 Juli lalu.
Dampak terparah terjadi di Lombok Utara. Bangunan hancur, dan sebagian jalan juga rusak, seperti terlihat di Desa Bangsal, Kecamatan Pemenang.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 105 orang meninggal dunia dan ribuan lainnya harus mengungsi.
Warga mengungsi terutama ke bukit-bukit karena takut terjadi tsunami sebagaimana informasi yang masih beredar, padahal otoritas terkait sudah memastikan tidak ada potensi itu.