Maarak Jamba, Tradisi Minangkabau yang Masih Tetap Terjaga
2016.11.01
Batusangkar
Ratusan perempuan berpakaian adat lengkap atau berbaju kurung khas Minang, memenuhi jalanan Kota Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Ahad, 30 Oktober 2016. Mereka menuju Istana Basa Pagaruyung, sambil membawa nampan besar di kepala.
Dalam bahasa setempat, nampan dikenal sebagai talam. Dalam talam itu, terdapat banyak piring berisi makanan, yang dibungkus kain perca berornamen adat Minangkabau. Makanan yang terbungkus rapi itulah disebut jamba.
Hari itu, di bekas Istana Raja Pagaruyung – kerajaan yang pernah berdiri di Sumatera —berlangsung Festival Pesona Budaya Minangkabau. Perempuan-perempuan sedang maarak jamba atau mengarak jamba. Ada ratusan jamba beragam corak yang diarak. Jamba-jamba kemudian dikumpulkan dalam istana untuk disantap bersama.
Tradisi itu disebut bajamba, tradisi makan yang dilakukan masyarakat Minang dengan cara duduk bersama dalam ruangan. Tradisi ini biasa ditemui pada peringatan hari-hari besar agama Islam atau upacara adat, pesta adat, dan pertemuan penting lain.
Secara harfiah, makan bajamba bermakna sangat dalam karena tradisi makan bersama akan memunculkan rasa kebersamaan tanpa melihat perbedaan status sosial di masyarakat.
Tradisi ini diperkirakan telah ada sejak Islam masuk ke Minangkabau sekitar abad ke-7 dan diyakini berasal dari Nagari Koto Gadang, daerah di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, yang melahirkan banyak tokoh seperti H. Agus Salim, Muhammad Hatta, Sutan Syahrir, dan Mohammad Natsir.
Meski di perkotaan kebiasaan ini mulai tergerus perubahan zaman, tetapi di daerah seperti Batusangkar, masih tetap lestari sebagai bagian dari upaya mempertahankan budaya dan sekaligus menjadi daya tarik wisatawan dalam dan mancanegara.