Penangkap Benih Lobster Terlarang
2018.04.13
Lombok
Lombok bagian selatan dengan pantai yang berkarang dan menghadap Samudera Hindia ke arah Benua Australia adalah surga bagi benih lobster.
Nelayan setempat, terutama di Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) sempat menggantungkan hidup pada bibit lobster.
Sejak 2013, nelayan seperti di Tanjung Luar, Tanjung Awang, Kuta, dan sekitarnya menangkap benih lobster seiring tingginya permintaan dari Vietnam.
Harga per ekor mencapai Rp25.000 dari Rp2.500 sebelum tingginya permintaan pasar dunia, sehingga penangkapan benih lobster tak terkendali.
Nelayan menggunakan peralatan pocong, terbuat dari bekas karung semen yang dibentuk mirip tempat pembakaran obat nyamuk dari kertas.
Namun, Januari 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) No 1 tentang larangan untuk menangkap lobster, kepiting, dan rajungan di bawah 200 gram dengan karapas 8 cm.
“Tujuannya agar bibit lobster tidak habis dijual ke luar negeri, terutama Vietnam,” kata Sabaryono, Kepala Seksi Kapal Ikan, Alat Penangkapan, dan Kenelayanan, Dinas Kelautan dan Perikanan NTB.
Nelayan di Lombok terpukul. Dari semula per hari bisa mendapatkan Rp1 juta – Rp2 juta, mereka harus menghentikan kegiatan itu.
Nelayan kembali menangkap jenis ikan lain, sambil membudidayakan bawal dan kerapu.
Diam-diam, sebagian nelayan masih tetap menangkap bibit lobster. Dengan boat bertenaga 6,5 PK, mereka memasang pocong sekitar 100-200 meter dari pantai pada malam hari. Mereka tinggal semalaman lalu kembali besok paginya.
Sekitar pukul 6 pagi mereka kembali ke keramba, tempat memasang pocong dan mengambil hasilnya. Bibit paling mahal adalah jenis mutiara dan pasir Rp25.000 per ekor. Adapun jenis bambu dan pasir biasanya dilepas lagi karena tak laku di pasaran.
“Selama ada permintaan, kami akan terus menangkap (bibit lobster) meskipun dilarang,” kata seorang nelayan.