Garam Amed, Produk Khas Daerah yang Tersingkirkan

Anton Muhajir
2016.07.13
Karangasem
1.jpg

Seiring dengan terbitnya matahari seorang petani garam mengambil air laut untuk bahan pembuatan garam. (Anton Muhajir/BeritaBenar)

2.jpg

Air laut diangkut dari pantai untuk bahan baku garam. (Anton Muhajir/BeritaBenar)

3.jpg

Air asin dicampur dengan tanah dan diaduk untuk pembuatan garam. (Anton Muhajir/BeritaBenar)

4.jpg

Salah satu proses pembuatan garam dengan mengaduk tanah yang sudah mengandung air laut. (Anton Muhajir/BeritaBenar)

5.jpg

Pembuatan garam juga melibatkan anak-anak setelah mereka pulang sekolah atau libur. (Anton Muhajir/BeritaBenar)

6.jpg

Pemakaian batang aren untuk mengkristalkan garam menjadi ciri khas pembuatan garam amed. (Anton Muhajir/BeritaBenar)

7.jpg

Sebagian kristal garam menetes dari batang aren. (Anton Muhajir/BeritaBenar)

8.jpg

Maraknya pembangunan pariwisata di kawasan Amed, peluang sekaligus ancaman bagi lahan garam. (Anton Muhajir/BeritaBenar)

9.jpg

Seorang anak menjual garam amed. (Anton Muhajir/BeritaBenar)

10.jpg

Garam amed dalam kemasan yang siap dijual. (Anton Muhajir/BeritaBenar)

Garam amed yang berasal dari daerah Amed di Kabupaten Karangasem, Bali, yanng terletak sekitar 90 km dari Denpasar ke timur laut ini, diproduksi dengan cara khusus yang tidak bisa ditemukan di tempat lain.

Teknik pembuatannya masih secara tradisional. Ada tiga tahapan, yaitu pengairan dengan air laut, pencampuran air laut dan tanah, serta pengkristalan garam dengan menggunakan batang aren yang dibelah. Hasil akhir proses ini berupa kristal-kristal garam yang siap dijual.

Selain dijual oleh anak-anak kepada turis yang datang ke wilayah yang juga terkenal sebagai salah satu tempat diving di Bali itu, garam ini juga dijual kelompok petani garam kepada perusahaan distributor produk organik. Dari Amed, garam ini tak hanya dijual hingga kota-kota besar seperti Denpasar dan Jakarta tapi juga luar negeri, termasuk Perancis dan Swiss.

Garam amed menjadi salah satu dari 31 produk di tanah air yang mendapat sertifikasi Indikasi Geografis dari pemerintah. Ini berarti produk ini mendapat perlindungan sebagai produk khas daerah. Merek dagangnya pun menguat.

Namun sertifikasi ini tidak berarti langsung menggairahkan para petani garam di sana yang kini hanya tersisa sekitar 20 orang.

“Padahal sepuluh tahun lalu masih ada 200-an petani garam di desa kami,” kata Nengah Suanda, petani yang juga Ketua Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) garam amed.

“Lahan pembuatan garam semakin sedikit karena sudah berganti jadi hotel atau rumah,” Suanda melanjutkan.

Amed memang salah satu lokasi favorit turis di timur Bali. Dengan pantai tenang di sisi utara dan Gunung Agung di sisi baratnya, Amed menjual pesona wisata.

“Harus ada perlindungan lahan petani garam amed agar tidak hilang karena kian masifnya alih fungsi lahan untuk pariwisata,” harap Made Iwan Dewantama, Manajer Program Conservation International (CI) Indonesia, lembaga swadaya masyarakat yang juga mendampingi pelestarian garam amed.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.