Ruwat Rawat Borobudur untuk Keseimbangan Wisata dan Ibadah
2016.04.20
Magelang
Sucoro memimpin ratusan seniman dan petani dari desa sekitar Borobudur. Mereka berjalan dari Taman Lumbini menuju pohon beringin di pintu masuk candi.
Di bawah pohon berusia ratusan tahun itu, para petani pembawa sesajen duduk bersila dan para seniman berbaris mengelilingi pohon. Mereka melakukan ruwatan atau ritual untuk menyingkirkan pengaruh buruk.
Sucoro, ketua Warung inisiator Ruwat Rawat Borobudur, mengambil dua sapu lidi dan mengayun-ayunkan di pohon beringin seakan sedang membersihkan sesuatu. Ritual dilanjutkan dengan penaburan bunga oleh Joyo Prono, sesepuh dari Desa Prumpung, Kecamatan Muntilan, Magelang, Jawa Tengah.
Saat Joyo menabur bunga, para petani pembawa sesajen berdoa. Mereka memohon kebaikan dan dijauhkan dari pengaruh roh jahat. Usai berdoa, Sucoro memimpin mereka mengelilingi pohon beringin tiga kali. Itulah puncak rangkaian ritual ruwat rawat Borobudur.
Ruwatan itu menjadi tontonan wisatawan dalam dan luar negeri. Malah, para wisatawan ikut iring-iringan saat kembali ke Taman Lumbini yang berjarak 300 meter dari lokasi pohon beringin.
Aulia (25), wisatawan asal Jawa Tengah, mengaku sudah lebih dari lima kali berkunjung ke Borobudur, tetapi baru kali ini bisa menyaksikan ruwatan.
Ritual ruwatan seakan mengingatkan bahwa Candi Borobudur bukan sekadar obyek wisata biasa. Banyak warisan sejarah dan budaya masa lalu di candi yang memiliki 72 stupa tersebut.
Ritual ruwatan hanya satu acara dalam kegiatan Umbul Donga yang digelar Senin, 18 April 2016. Ini merupakan rangkaian Ruwat Rawat Borobudur yang puncaknya akan dilaksanakan pada 1 Juni 2016 mendatang. Acara ini adalah kegiatan tahunan yang dilaksanakan sejak tahun 2003.
Ruwatan bertujuan menjaga kesakralan Borobudur yang sejatinya adalah tempat pemujaan masa pemerintahan Wangsa Syailendra yang menganut aliran Budha Mahayana. Menurut Suroco, Ruwat Rawat digagas untuk menjaga keselarasan fungsi Borobudur sebagai destinasi wisata sekaligus tempat peribadatan umat Budha agar tidak terjadi benturan antara kedua fungsi tersebut.
Kegiatan ini mengingatkan kita semua bahwa menjaga Borobudur tidak hanya dengan mata saja, tapi juga harus dengan hati.
“Jika hanya menitikberatkan pada salah satunya tak akan berhasil, tapi justeru akan menimbulkan kekacauan,” ujar Suroco kepada BeritaBenar.
Pesan tersebut seakan tersirat dalam relief terbawah Candi Borobudur, Kidoeng Karmawibangga. Relief itu bercerita tentang hukum sebab akibat yang digambarkan dengan dua anak kembar raja yang punya sifat saling berlawanan. Pangeran Sancaka menghormati kerajaan, sedangkan Sangkala menentang sang raja. Pada akhirnya Pangeran Sangkala dikutuk menjadi patung.
Sucoro mengatakan ritual ruwat telah menjadi ruang komunikasi di antara seniman dengan penafsiran masing-masing untuk berupaya mendukung Borobudur menjadi destinasi wisata dunia.