Komnas terima lebih dari 1.200 dugaan pelanggaran HAM di semester pertama 2024
2024.09.18
Jakarta
Komnas HAM pada Rabu (18/9) melaporkan sebanyak 1.227 kasus dugaan pelanggaran HAM yang diterima selama enam bulan pertama tahun ini. Jumlah ini turun dibandingkan dengan 1.415 laporan pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Meski demikian, sejumlah aktivis mengatakan angka Komnas HAM tersebut belum berarti merefleksikan kondisi hak asasi manusia yang membaik, dan menuduh pemerintah tidak melakukan cukup upaya untuk menghentikan pelanggaran yang dilakukan oleh aparat negara.
“Polisi paling banyak diadukan sebanyak 350 aduan, kemudian pemda (pemerintah daerah) serta pemerintah pusat sebanyak 232 aduan dan korporasi 182 aduan,” kata Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro dalam konferensi pers di Jakarta.
Dari total laporan kasus, isu yang paling banyak diadukan meliputi agraria (248 aduan), praktik bisnis dan hak asasi manusia (247 aduan), perdagangan orang (16 aduan), serta kebebasan beragama dan keyakinan (8 aduan).
Komnas HAM juga menyoroti 14 kasus selama semester pertama 2024, termasuk penggundulan petani di Desa Salo Loang, pengusiran masyarakat adat Pamaluan akibat pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), penghalangan Forum Rakyat Air Dunia di Bali, serta kriminalisasi aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.
Kasus-kasus lain yang disoroti termasuk kebocoran gas PT Sorik Marapi Geothermal Power di Mandailing Natal, kebakaran di kawasan industri PT Indonesia Morowali Industrial Park, peristiwa pembakaran rumah wartawan yang berujung pada kematian sang wartawan dan tiga anggota keluarganya di Sumatra Utara, kematian Afif Maulana di Sumatra Barat, serta insiden di Papua, termasuk penembakan warga sipil dan penyiksaan oleh aparat keamanan.
Menurut Atnike, salah satu sumber konflik yang berujung pada pelanggaran hak dalam proyek strategis nasional (PSN) adalah kegagalan menerapkan prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan dan lemahnya perlindungan masyarakat adat.
“Komnas HAM berharap mediasi dapat menjadi solusi yang adil sesuai prinsip hak asasi manusia,” tambahnya.
Tahun lalu Komnas HAM mendapat 2.753 dugaan pelanggaran HAM dari 5.301 berkas pengaduan dugaan pelanggaran. Sedangkan pada 2022, dugaan pelanggaran HAM yang diadukan mencapai 3.190.
“Angka masih sangat tinggi”
Peneliti Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Helmy Hidayat Mahendra, mengungkapkan bahwa laporan Komnas HAM tidak dapat menjadi gambaran kondisi hak asasi di Indonesia.
“Menurut saya, angka-angka itu tidak bisa jadi patokan, apalagi aktor-aktor pelanggaran HAM belum mendapatkan sanksi tegas,” katanya kepada BenarNews.
“Tidak ada perubahan signifikan dalam perlindungan HAM di Indonesia. Angka 1.200 ini masih sangat tinggi,” tambahnya.
Helmy juga menyoroti bahwa Polri adalah institusi yang paling sering diadukan, yang menurutnya menunjukkan krisis kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.
KontraS mencatat 645 peristiwa kekerasan melibatkan anggota Polri antara Juli 2023 hingga Juni 2024, menyebabkan 759 korban luka dan 38 korban tewas. Selain itu, 35 peristiwa pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing) mengakibatkan 37 orang tewas.
Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, menyebut penurunan jumlah laporan bisa dimaknai sebagai penurunan harapan publik terhadap keadilan, serta terbatasnya kapasitas korban untuk melaporkan kasus-kasus pelanggaran.
“Perlu dicatat, tidak semua korban atau kelompok rentan atau komunitas penyintas itu punya kemampuan untuk speak up, bicara lantang, dan berani melaporkan kepada pihak eksternal, termasuk elemen negara, seperti Komnas HAM,” ujar dia kepada BenarNews.
Komnas HAM gagal?
Sementara itu, Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menilai bahwa Komnas HAM belum berhasil menuntaskan kasus pelanggaran hak berat masa lalu.
Julius juga menyebut kasus pelanggaran yang berulang, seperti kriminalisasi dan konflik agraria, menunjukkan kegagalan Komnas HAM dalam menjalankan mandatnya.
“Dalam menilai kinerja Komnas HAM yang memiliki kewenangan hingga pro-yustisia (proses hukum), maka dikatakan Komnas HAM ini juga gagal, karena nyaris tidak ada intervensi apapun untuk menghentikan pelanggaran HAM oleh aparat negara, baik polisi maupun tentara,” jelas dia.
Initimidasi di Rempang
Di sisi lain, sejumlah lembaga swadaya masyarakat kembali bersuara mengecam kekerasan yang terjadi terhadap masyarakat Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, terkait penolakan pembangunan proyek Rempang Eco City.
Menurut Solidaritas Nasional untuk Rempang, pada Rabu (18/9), anggota polisi berseragam mendatangi dan mengusir warga di Kampung Sungai Buluh, menyebabkan tiga orang terluka dan belasan lainnya menjadi korban pemukulan.
Teo Reffelsen dari Walhi menuduh pemerintah melakukan intimidasi untuk menggusur paksa masyarakat yang mempertahankan ruang hidup mereka.
“Kami minta presiden memerintahkan Panglima TNI dan Kepolisian untuk menarik mundur anggotanya di Pulau Rempang,” kata Teo.
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, mengatakan bahwa intimidasi ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam melindungi masyarakat adat dan menghormati hak mereka atas tanah.
“Kami mendesak pihak berwenang untuk segera menyelidiki dan mengambil tindakan hukum yang tegas terhadap para pelaku kekerasan dan intimidasi ini,” ujar dia.
Sebelum insiden di Rempang tersebut, Amnesty mencatat, dari Januari 2019 hingga Maret 2024, setidaknya ada delapan kasus serangan terhadap masyarakat adat dengan sedikitnya 90 korban, termasuk kriminalisasi, intimidasi, dan kekerasan fisik.
“Kami juga menuntut penghentian pembangunan PSN Rempang Eco City yang telah terbukti merugikan masyarakat adat setempat. Hak-hak masyarakat adat harus dihormati dan dilindungi dari segala bentuk ancaman dan kekerasan,” ujar dia.
Tria Dianti di Jakarta ikut berkontribusi pada artikel ini.