Imbauan Kepala BKKBN agar hamil maksimal usia 35 untuk cegah stunting tuai kecaman

Pakar sebut tidak ada hubungan antara keduanya dan pernyataan itu diskriminatif terhadap perempuan.
Tria Dianti
2024.04.02
Jakarta
Imbauan Kepala BKKBN agar hamil maksimal usia 35 untuk cegah stunting tuai kecaman Seorang anak diukur sebelum menerima kapsul polio dalam program pencegahan stunting di pos pelayanan terpadu di Banda Aceh pada 14 November 2022.
Chaideer Mahyuddin/AFP

Saran Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) agar perempuan hamil pada usia maksimum 35 tahun untuk mencegah stunting pada anak telah menimbulkan kecaman dari masyarakat dan pakar kesehatan yang mengatakan tidak ada hubungan langsung antara usia ibu saat hamil dan stunting serta pernyataan itu diskriminatif terhadap perempuan.

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo yang juga adalah dokter kandungan, mengatakan bahwa dalam upaya percepatan penurunan angka stunting di Indonesia, batas kehamilan perlu dipertimbangkan, yaitu 35 tahun dengan usia ideal pernikahan 25 tahun untuk pria dan 21 tahun untuk perempuan.

“Usia 35 tahun maksimal untuk hamil karena pada dasarnya manusia dari lemah dikuatkan, dari kuat dilemahkan, dan puncaknya ada di umur 32 tahun, usia itu sudah mulai menua, sudah mulai keropos tulang-tulangnya,” kata Hasto saat kunjungannya di Semarang, Jawa Tengah, minggu lalu (25/4).

Menurut UNICEF, stunting disebabkan oleh anak-anak yang kekurangan gizi dalam dua tahun pertama usia mereka, ibu yang kekurangan gizi selama kehamilan, dan sanitasi yang buruk di lingkungan rumah.

Sementara WHO menyebut stunting disebabkan oleh faktor rendahnya kualitas pangan, keamanan pangan dan air, pengasuhan tidak cukup, ketidakcukupan ASI, makanan pendamping dan keadaan lingkungan serta sosial budaya suatu wilayah.

Sejumlah pakar kesehatan mengatakan bahwa meskipun ada sejumlah risiko pada perempuan yang hamil di atas 35 tahun, mengaitkan usia tersebut sebagai penyebab stunting pada anak adalah tidak berdasar.

Ahli gizi masyarakat Tan Shot Yen menegaskan belum ada studi hubungan kualitas sel telur di usia 35 tahun ke atas dan stunting. Sebab, ujarnya, kriteria stunting itu adalah gangguan gizi kronik, bukan kecacatan yang menyebabkan tinggi badan anak usia tersebut berada minus 2 ke bawah dari normal.

“70% masalah stunting berasal dari pola asuh keluarga. Ketidakpahaman keluarga besar juga, dengan pola makan anak amburadul,” kata dia.

Hal senada disampaikan pakar kesehatan masyarakat Dicky Budiman yang mengatakan bahwa imbauan kepala BKKBN itu tidak relevan, karena berbagai riset justru menemukan hamil pada usia muda di bawah 18 tahun dan pernikahan dini justru menjadi penyebab stunting.

“Saya tidak setuju imbauan tersebut karena dalilnya lemah. Ibu hamil maksimal di atas 35 tahun berkaitan dengan stunting, saya belum menemukan risetnya. Dari sisi patogenesis terjadinya stunting adalah karena si janin dalam perut ibu kurang gizi kronis, yang disebabkan kurang gizi, infeksi berulang,” kata dia.

Sebaliknya, tegasnya, usia menikah dan punya anak di atas 35 tahun justru menunjukkan angka stunting lebih rendah dari angka global. Terbukti di Eropa, yang banyak warganya menikah di usia 30 tahunan angka stuntingnya rendah.

“Umumnya wanita hamil di usia di atas 35 tahun lebih mengutamakan pekerjaan dan biasanya lebih stabil dibandingkan usia muda. Artinya si Ibu memiliki pemahaman, ekonomi yang baik, literasi yang baik dan bisa memberikan asupan gizi yang jauh lebih besar,” kata dia.

Seorang bayi menerima kapsul polio saat program pencegahan stunting di pos pelayanan terpadu di Banda Aceh, 14 November 2022. [Chaideer Mahyuddin/AFP]
Seorang bayi menerima kapsul polio saat program pencegahan stunting di pos pelayanan terpadu di Banda Aceh, 14 November 2022. [Chaideer Mahyuddin/AFP]

Diskriminatif terhadap perempuan

Pernyataan Dokter Harso Wardoyo memicu ribuan komentar di media sosial. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nasihat ini tidak adil bagi perempuan karena stunting pada anak tidak hanya tentang kehamilan yang terlambat.

“Kenapa perempuan terus yang disalahkan? Emangnya laki-laki nggak punya kontribusi menyebabkan stunting?” kata Karina Lin (40) yang melahirkan awal tahun ini kepada BenarNews.

Dia mempertanyakan apakah pernyataan Dokter Harso itu didasarkan pada penelitian mendalam karena menurutnya teknologi kesehatan sangat canggih saat ini.

“Secara HAM (hak asasai manusia) kita nggak bisa ngebatesin kaya gitu karena setiap perempuan itu bebas untuk hamil di usia berapapun bahkan usia 50 tahun. Yang harus difokuskan jangan usia saja tapi juga masalah gizi,” kata dia.

Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Rizka Nidya (36) yang mengatakan bahwa usia tidak memengaruhi stunting karena cara masing-masing orang dalam merawat anak berbeda.

“Banyak juga wanita yang hamil usia muda tapi anaknya stunting,” kata dia.

Meirissa Ramadhani (36) percaya bahwa stunting pada anak tidak disebabkan oleh kehamilan pada usia 35 tahun ke atas.

“Asupan nutrisi sejak di dalam kandungan berpengaruh pertumbuhan anak nantinya. Dengan memperhatikan nutrisi janin dan rutin memeriksa ke bidan mungkin dapat mencegah stunting. Kehamilan usia 35 tahun memang beresiko tapi teknologi kedokteran sudah cukup canggih, banyak cara untuk mendeteksi adanya suatu kejanggalan saat kehamilan,” kata dia.

Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini mempertanyakan statemen Kepala BKKBN itu.

“Imbauan ini terkesan menempatkan tubuh perempuan sebagai yang utama padahal urusan stunting adalah urusan bersama termasuk negara,” ujarnya kepada BenarNews.

Menurutnya, usia 35 tahun saat hamil bukanlah penentu utama stunting tetapi berbagai faktor, terutama kemiskinan.

 “Stunting banyak terjadi di dalam rumah tangga miskin dengan berbagai faktor pendukung termasuk kondisi ibu terhadap stunting. Usia hamil di atas 35 memang beresiko pada kesehatan perempuan dan janin. Sama halnya pada ibu berusia kurang dari 20-25 tahun,” katanya.

Dalam konteks stunting, pemerintah penting melihat faktor penyebab terbanyak untuk diintervensi, utamanya kecukupan gizi yang disumbang oleh kemiskinan.

“Soal tubuh perempuan, sebaiknya pemerintah menyiapkan sarana prasarana kesehatan yg mendukung berkualitasnya tubuh perempuan (jiwa dan raga) termasuk memastikan hapusnya kekerasan dalam rumah tangga yang bisa jadi menyebabkan kurangnya gizi ibu karena ditelantarkan saat hamil atau mengalami KDRT,” kata dia.

Ahli gizi Tan Shot Yen mengatakan target menikah 21 tahun dan punya anak maksimal 35 tahun adalah hal yang tidak masuk akal karena justru usia tersebut sangat riskan dalam hal kedewasaan.

“Mereka belum matang, belum punya penghasilan tetap dan belum mampu menentukan visi,” ujarnya kepada BenarNews.

“Prefrontal korteks otak depan yang mampu menentukan baik buruk benar salah justru matang rata-rata di usia 30 tahun,” tambahnya.

Dalam pidatonya bulan Juli lalu, Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan bahwa berdasarkan data PBB 2020, sebanyak 149 juta balita di seluruh dunia mengalami stunting, termasuk 6,3 juta balita di Indonesia.

Kementerian Kesehatan menyatakan data 2022 menunjukkan bahwa 4,5 juta anak Indonesia di bawah lima tahun mengalami wasting (kurang berat badan) dan 760.000 anak berstatus gizi buruk.

Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada awal 2023 menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Indonesia telah menurun dari 24,4 persen pada tahun 2021 menjadi 21,6 persen pada tahun 2022.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo menargetkan bahwa Indonesia dapat mencapai prevalensi 14 persen pada tahun 2024. Menurutnya, stunting bukan hanya tentang tinggi badan tetapi menyebabkan rendahnya kemampuan belajar, keterbelakangan mental, dan munculnya penyakit kronis.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.