Dalam upaya mengambil hati ASEAN, junta Myanmar bebaskan tahanan
2022.11.17
Pernyataan junta Myanmar bahwa mereka membebaskan beberapa tahanan tingkat tinggi termasuk mantan duta besar Inggris dan seorang ekonom Australia, adalah upaya untuk mencegah tekanan dari ASEAN ketika junta berupaya memenangkan legitimasi untuk pemilihan nasional yang dijadwalkan tahun depan.
Pada hari Kamis, junta, yang secara resmi menyebut dirinya Dewan Administrasi Negara (SAC), mengatakan pihaknya membebaskan Sean Turnell dari Australia, Vicky Bowman dari Inggris, jurnalis Jepang Toru Kubota, Kyaw Htay Oo yang berkewarganegaraan AS-Burma dan beberapa tokoh oposisi senior. Itu adalah bagian dari amnesti yang diberikan kepada 5.774 tahanan, termasuk 712 tahanan politik, untuk menandai sebuah hari peringatan nasional.
Turnell, seorang akademisi, adalah penasihat ekonomi yang dekat dengan Aung San Suu Kyi - pemimpin sipil yang digulingkan, dihukum dan dijatuhi hukuman total 26 tahun atas berbagai tuduhan. Suu Kyi sendiri saat ini sedang dipenjara. Turnell ditangkap beberapa hari setelah kudeta 1 Februari 2021, dan dijatuhi hukuman tiga tahun. Mantan duta besar Bowman, yang menjalankan sebuah LSM bergerak dalam tanggung jawab perusahaan, ditangkap bersama suaminya Htein Lin, pada September 2022. Mereka masing-masing dijatuhi hukuman satu tahun atas tuduhan terkait imigrasi. Lin dan Bowman dibebaskan. Toru Kubota ditangkap pada Juli 2022 dan dijatuhi hukuman tujuh tahun.
Tuduhan palsu terhadap Bowman, Turnell, dan Kubota menunjukkan bahwa mereka secara efektif telah digunakan sebagai sandera untuk mencegah pemerintah masing-masing memberikan sanksi ekonomi yang lebih keras terhadap junta.
Kenapa sekarang?
Pembebasan itu dilakukan hanya beberapa hari setelah Presiden Indonesia Joko Widodo menerima serah terima sebagai presiden bergilir ASEAN dari pendahulunya Hun Sen. Perdana Menteri Kamboja itu telah menjalankan kebijakan yang permisif terhadap junta, meskipun ia ditekan oleh anggota ASEAN untuk tidak mengundang para pemimpin Myanmar dalam pertemuan tingkat tinggi blok negara-negara Asia Tenggara itu.
Kenyataannya, “kepemimpinan” Kamboja adalah hadiah bagi junta. Namun pemimpin yang bersimpati terhadap junta tampaknya tidak akan terjadi lagi.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo, menyampaikan ketidakpuasannya atas kegagalan ASEAN untuk membuat junta mematuhi ketentuan Konsensus Lima Poin, yang dicapai antara junta dan blok tersebut pada April 2021. Konsensus itu dimaksudkan untuk mendorong penyelesaian politik dan memfasilitasi pengiriman bantuan kemanusiaan.
Pernyataan ASEAN pada 13 November dalam pertemuan puncak pemimpinnya di Kamboja, menyerukan “indikator konkrit, praktis dan terukur” pada kemajuan dalam menerapkan konsensus, dan junta memiliki alasan kuat untuk percaya bahwa Indonesia akan lebih keras dalam pendekatannya. Jokowi menyatakan bahwa “Indonesia sangat kecewa dengan situasi di Myanmar yang memburuk,” dan khawatir bahwa keragu-raguan organisasi tersebut “mendefinisikan” perhimpunan yang terdiri dari 1- negara itu termasuk Myanmar.
Sementara banyak orang mungkin skeptis bahwa Indonesia akan mengambil garis yang jauh lebih keras terhadap junta, apakah para jenderal di Naypyidaw mau mengambil risiko? Kebijakan luar negeri tidak pernah menjadi prioritas utama bagi Jokowi, tetapi setelah berhasil menjadi tuan rumah dari KTT G-20 yang kontroversial dan sekarang menjadi presiden ASEAN, presiden yang masa jabatannya akan berakhir pada 2024 itu mungkin ingin membangun legasinya.
Namun tidak hanya itu.
Pada 14 November, Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah mengumumkan bahwa Malaysia tidak akan mendukung pemilu yang direncanakan junta pada tahun 2023, karena akan “bias” dan ditolak oleh Liga Demokrasi Nasional (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi, yang menang telak pada November 2020, yang kini merupakan pemerintahan bayangan, Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG).
“Kelompok pro-demokrasi yang memenangkan pemilihan sebelumnya menang besar, tetapi sebelum mereka membentuk pemerintahan, junta mengambil alih kekuasaan,” kata Saifuddin. “Oleh karena itu, sangat tidak logis bagi Malaysia dan ASEAN untuk mendukung pemilu itu.”
Junta memiliki banyak alasan untuk takut bahwa Indonesia akan mengikuti jejak Malaysia, yang akan membuka jalan bagi negara-negara ASEAN lainnya, seperti Filipina dan Singapura, untuk melakukan hal yang sama.
Pemilihan yang diusulkan di Myanmar pada tahun 2023 akan kacau, karena sejumlah alasan. Junta telah membentuk sistem perwakilan proporsional yang diyakini akan menguntungkannya, menangkap ratusan anggota parlemen dan aktivis NLD, menguasai distrik, melarang partai, dan mengendalikan media. Junta juga telah membangun sistem kartu identitas nasional yang akan diperlukan untuk pemungutan suara, tetapi kemungkinan tidak tersedia untuk sebagian besar pemilih. Junta juga mengontrol Komisi Pemilihan Umum dan peradilan.
Berbagai organisasi perlawanan etnis telah menyatakan bahwa tidak ada kegiatan pemilu yang akan diizinkan di wilayah mereka. Pemerintah bayangan yang muncul setelah kudeta, NUG, mungkin akan memimpin boikot pemilu secara nasional, yang semakin mengurangi kredibilitas pemungutan suara.
Namun, sementara junta yakin bahwa mereka dapat memanipulasi pemilu untuk menguntungkan mereka, pemerintah militer Myanmar kurang yakin bahwa komunitas internasional akan menerimanya. Pemimpin kudeta Jenderal Senior Min Aung Hlaing sangat meyakini bahwa pemilu akan memungkinkan dia, seperti terjadi di Thailand, untuk mempertahankan kekuasaan dan melegitimasi rezimnya.
Sementara Min Aung Hlaing bisa mengandalkan China, Rusia dan India, bersama dengan Jepang dan Korea Selatan, untuk mendukung adanya pemilihan dan memberi rezim legitimasi untuk melanjutkan bisnis seperti biasa, kunci diterimanya Myanmar di dunia internasional adalah sikap ASEAN.
AS dan negara-negara Barat selalu mengatakan bahwa ASEAN harus menjadi yang terdepan dalam penyelesaian politik atas krisis di Myanmar. Jadi, penting bagi junta untuk mencoba mencegah blok tersebut agar tidak menolak hasil pemilu, bahkan sebelum itu terjadi.
Teori kemenangan junta
Meskipun kerugian besar di medan perang melawan Organisasi Perlawanan Etnis dan Pasukan Pertahanan Rakyat yang telah mengangkat senjata sejak kudeta, dan perang saudara yang terjadi di berbagai zona, junta memiliki teori kemenangan.
Pusat gravitasi NUG adalah aliansi dan hubungan kerja mereka dengan berbagai organisasi etnis bersenjata yang juga menyediakan senjata dan pelatihan bagi jaringan milisi NUG. Jadi mereka terus menggantungkan kesepakatan otonomi dan pembagian pendapatan dengan organisasi perlawanan etnis mana pun yang akan muncul di Naypyidaw.
SAC juga tahu bahwa waktu ada di pihak mereka. Meskipun mereka salah urus dalam hal ekonomi, mereka masih memiliki lebih banyak sumber daya daripada NUG, mereka memiliki akses ke senjata, dan dapat mencari pinjaman uang dari luar negeri.
Junta hanya harus bertahan, dan tidak kehilangan wilayah lagi sebelum pemilu yang dijadwalkan Agustus mendatang. Memang, mereka siap untuk memulai serangan musim kemarau mereka, mencoba untuk merebut kembali wilayah sebanyak mungkin dan menggunakan kekuatan udara mereka untuk mengebom pasukan perlawanan etnis dengan harapan mereka meninggalkan NUG dan masuk ke dalam pembicaraan damai.
Dan itulah mengapa pelepasan Turnell, Bowman, dan lainnya sangat penting. Ini akan ditafsirkan oleh banyak orang di ASEAN dan komunitas internasional sebagai isyarat niat baik oleh junta yang akan memungkinkan negara-negara yang mulai menyerukan isolasi yang lebih besar bagi junta untuk mulai menerima kembali keterlibatan junta.
Bagi junta, semuanya bermuara pada pemilihan tahun depan. Hal ini berhasil diterapkan oleh junta Thailand yang merebut kekuasaan pada tahun 2014, dan mampu dalam beberapa tahun untuk beralih dari kelompok paria ke keadaan yang dinormalisasi, sambil secara politik mengebiri oposisi.
Bagi Min Aung Hlaing, Bowman, Turnell, Kubota, dan lainnya adalah token untuk ditukar bagi diperolehnya dukungan internasional. Dan masih banyak lagi yang harus mereka mainkan, termasuk sang Lady -- sebutan Aung San Suu Kyi di Myanmar -- saat mereka bermanuver untuk memegang kekuasaan. Ini bukan gerakan kemanusiaan, tapi taktik sinis dan diperhitungkan untuk legitimasi internasional.
Zachary Abuza adalah profesor di National War College di Washington dan asisten di Universitas Georgetown. Pandangan yang diungkapkan di sini adalah miliknya sendiri dan tidak mencerminkan posisi Departemen Pertahanan AS, National War College, Universitas Georgetown atau RFA.