Pembubaran Jemaah Islamiyah sepertinya permanen – dan nyata

Lima bulan lalu, petinggi JI mengumumkan pembubaran grup militan tersebut.
Opini oleh Zachary Abuza
2024.11.29
Pembubaran Jemaah Islamiyah sepertinya permanen – dan nyata Masyarakat berdoa untuk para korban bom Bali dalam peringatan 20 tahun serangan bom yang menewaskan 202 orang itu, sebagian besar wisatawan asing, di Monumen Peringatan Bom Bali di Kuta, Bali, 12 Oktober 2022.
Firdia Lisnawati/AP

Dalam sebuah acara yang diprakarsai oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) akhir Juni lalu, Abu Rusydan dan 15 anggota senior Jemaah Islamiyah mengumumkan bahwa mereka sepakat membubarkan kelompok militan tersebut.

Banyak orang, termasuk korban-korban aksi teror Jemaah Islamiyah di masa lalu – terutama korban serangan bom Bali tahun 2002 – bereaksi dengan kecurigaan.

Abu Rusydan, Para Wijayanto, dan pimpinan militer JI, Khoirul Anam saat ini semuanya masih dipenjara, sehingga timbul spekulasi apakah keputusan ini dipaksakan atau dilakukan dengan harapan hukuman mereka dikurangi.

Namun, bukti yang dikumpulkan pada bulan-bulan berikutnya menunjukkan bahwa keputusan ini nyata dan tidak dapat dibatalkan. Ada enam alasan untuk ini.

Pertama, meskipun secara kelembagaan mereka masih kuat, Jemaah Islamiyah telah tidak aktif secara militer sejak 2011 dan dilemahkan oleh penangkapan, termasuk penangkapan Zulkarnaen (juga dikenal sebagai Aris Sumarsono), kepala operasi militer mereka pada Desember 2020. Penangkapannya menghancurkan apa yang tersisa dari peralatan pelatihan JI.

Pemerintah secara resmi menyatakan JI sebagai organisasi terlarang di 2008, namun itu memberikan ruang bagi mereka untuk lebih terlibat dalam dunia pendidikan, aksi sosial, membangun usaha, dan beberapa aktivitas lain, selama kegiatan tersebut tidak melibatkan kekerasan.

Setelah Para Wijayanto ditangkap pada tahun 2019, sikap aparat keamanan Indonesia terhadap Jemaah Islamiyah semakin keras. Mereka melihat JI, yang memiliki sumber daya yang kuat, bersiap-siap untuk kembali melancarkan aksi kekerasan setelah jeda taktis.

Tahun itu, hanya 8% dari total penangkapan terorisme dilakukan terhadap anggota JI. Jumlah tersangka JI yang ditangkap pada tahun 2021 dan 2022 sama banyaknya dengan jumlah tersangka anggota Jamaah Ansharut Daulah.

Pada tahun 2023, ada 53% dari yang ditangkap terkait kasus terorisme adalah anggota JI, termasuk beberapa pemimpin generasi berikutnya, termasuk putra Para Wijayanto.

Selain itu, ada juga pertimbangan politisnya. Ada lebih dari 1.000 hukum syariah di seluruh Indonesia. Kekerasan tidak menghasilkan apa pun dalam penerapan hukum Islam, jika dibandingkan dengan politik yang demokratis.

Suasana di lokasi ledakan bom di Kuta, Pulau Bali, dalam foto yang diambil pada 17 Oktober 2002, lima hari setelah ledakan di tempat hiburan malam yang menewaskan lebih dari 200 orang. [Jonathan Drake/Reuters]
Suasana di lokasi ledakan bom di Kuta, Pulau Bali, dalam foto yang diambil pada 17 Oktober 2002, lima hari setelah ledakan di tempat hiburan malam yang menewaskan lebih dari 200 orang. [Jonathan Drake/Reuters]

Kedua, pembubaran ini adalah hasil proses urun rembuk selama bertahun-tahun.

Setelah ditangkap, Wijayanto mendekati Densus 88 dan minta untuk dapat bertemu dengan Abu Rusydan, mantan emir JI yang saat itu buron, tapi polisi tidak mau berjanji untuk tidak menangkapnya. Wijayanto telah menulis risalah setebal 500 halaman yang menjelaskan 42 alasannya membubarkan kelompok tersebut.

Namun pada bulan Maret lalu, kedua pria itu menyimpulkan bahwa jihad dengan kekerasan tidak diperlukan karena tidak ada ancaman negara terhadap umat Islam di Indonesia dan kondisi Indonesia sebagai negara tidak bertentangan dengan syariat Islam. Hal ini didasarkan pada putusan Dewan Fatwa JI tahun 2016 yang menyatakan bahwa ideologi Pancasila, tidak bersifat anti-Islam.

Kedua pemimpin itu kemudian meminta pertemuan dengan Khoirul Anam, yang juga dipenjara, dan Bambang Sukirno, seorang anggota senior JI dan murid pendiri JI, Abdullah Sungkar.

Sukirno, yang tidak dipenjara, lalu membagikan video pertemuan bulan Mei itu, yang merekam keputusan mereka untuk membubarkan diri berdasarkan teori “Kesimpulan 642” yang disusun oleh Rusydan, kepada anggota senior JI lainnya.

Dalam video terpisah, Khoirul Anam mengumumkan bahwa JI akan segera mengakhiri “tanzim siri” (organisasi klandestin) dan “tanzim askary” (organisasi militer).

Setelah itu, mereka yang termasuk dalam pimpinan JI bertemu di Solo pada 29 Juni, bersama dengan anggota-anggota senior JI dan perwakilan dari 42 madrasah yang dikontrol oleh JI. Besok harinya, JI resmi mengumumkan pembubaran kelompok mereka.

Polisi mengawal tersangka militan Zulkarnaen (tengah), yang juga dikenal sebagai Aris Sumarsono, setibanya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten, 16 Desember 2020. [Achmad Ibrahim/AP]
Polisi mengawal tersangka militan Zulkarnaen (tengah), yang juga dikenal sebagai Aris Sumarsono, setibanya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten, 16 Desember 2020. [Achmad Ibrahim/AP]

Ketiga, saat musyawarah berlangsung, Abu Fatih mulai membangun kepercayaan  dengan menyerahkan senjata dan bahan peledak, sebagai wujud itikad baik mereka.

Fatih mengakui bahwa mereka belum menyerahkan atau menemukan semua senjata – tidak heran, mengingat penyebaran geografis organisasi dan struktur selulernya. Seorang juru bicara Densus 88 mengakui bahwa saat proses masih berlangsung, “Senjata dan bahan peledak yang mereka simpan, termasuk bahan lain yang masih mencerminkan kekuatan JI, telah diserahkan.”

Keempat, hingga pertengahan November, sebagian besar dari 5.500-6.000 anggota telah hadir di acara-acara sosialisasi pembubaran JI, yang telah berlangsung sebanyak 42 kali dan selalu diakhiri dengan pembacaan ikrar kesetiaan kepada “Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Ukuran acara bervariasi tergantung pada wilayahnya, yang difokuskan di wilayah-wilayah basis JI. Acara terbesar diadakan di Jawa: di: Bekasi (400), Kudus (280), Semarang (230), Banyumas Raya (300), Pekalongan (152), Madiun (150), dan Depok.

Sosialisasi ini juga telah diadakan di berbagai tempat di Indonesia, termasuk di Sulawesi Tengah dan Selatan, Balikpapan, Palembang, Riau, Maluku, dan tempat-tempat lain di Sumatra.

Beberapa dari 16 pemimpin senior JI, termasuk Sukirno, Wijayanto, Abu Fatih, Abu Rusydan, Khoirul Anam, Zarkasih, Ustad Hasan Partono, selalu hadir dalam acara-acara ini, yang juga dihadiri dan disaksikan oleh Ustad Imtihan Syafi’i, mantan ketua Dewan Fatwa JI dan salah satu ulama hukum Islam terkemuka JI.

Walau tidak semua anggota setuju dan hadir, ada harapan bahwa akan semakin banyak yang hadir seiring dengan semakin sering diadakannya acara sosialisasi dimana petinggi JI menyebarkan info mengenai keputusan pembubaran dan justifikasinya.

Ulama Abu Bakar Bashir, pemimpin spiritual kelompok militan Jemaah Islamiyah, melambai dari kursi roda saat tiba di Pondok Pesantren Al Mukmin dimana dia tinggal, dekat Solo (Surakarta), Jawa Tengah, setelah dibebaskan dari penjara karena beberapa dakwaan terkait terorisme, 8 Januari 2021. [Kusumasari Ayuningtyas/BenarNews]
Ulama Abu Bakar Bashir, pemimpin spiritual kelompok militan Jemaah Islamiyah, melambai dari kursi roda saat tiba di Pondok Pesantren Al Mukmin dimana dia tinggal, dekat Solo (Surakarta), Jawa Tengah, setelah dibebaskan dari penjara karena beberapa dakwaan terkait terorisme, 8 Januari 2021. [Kusumasari Ayuningtyas/BenarNews]

Kelima, telah ada beberapa kemajuan awal dalam melembagakan reformasi kurikulum di 42 madrasah dan pesantren JI.

Ini akan menjadi bagian tersulit, dan akan melibatkan pengawasan terus-menerus dari Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, serta BNPT dan Densus 88.

Penolakan terhadap ideologi takfiri dan penerimaan akan pluralisme Islam akan menjadi kunci dalam upaya ini.

Yang sama pentingnya dengan reformasi kurikulum adalah komitmen dari para pemimpin sekolah dan para guru, karena radikalisasi dan perekrutan yang sesungguhnya terjadi di sesi-sesi setelah jam sekolah.

Hingga saat ini, pemerintah melaporkan tidak ada penolakan dalam pembicaraan mereka dengan para pemimpin sekolah tentang reformasi kurikulum.

Keenam, Wijayanto membuka saluran komunikasi kepada anggota JI yang masih berada di Suriah, yang bergabung dengan Hayat Tahrir al-Sham, kelompok militan yang terkait dengan al-Qaeda, untuk menyampaikan pengumuman tersebut dan bekerja sama dengan Densus 88 untuk memulangkan mereka.

Namun, ada alasan untuk tetap khawatir, tanpa mengesampingkan perkembangan positif ini.

Pimpinan JI memang telah meminta maaf kepada para korban dan mengakui bahwa mereka telah salah jalan, tapi kecaman mereka terhadap kekerasan tidak cukup kuat.

Polisi paramiliter ikut serta dalam operasi penangkapan militan yang diduga terkait dengan jaringan terorisme Asia Tenggara, Jemaah Islamiyah, di Pidie, provinsi Aceh, 7 Maret 2010. [Heri Juanda/AP]
Polisi paramiliter ikut serta dalam operasi penangkapan militan yang diduga terkait dengan jaringan terorisme Asia Tenggara, Jemaah Islamiyah, di Pidie, provinsi Aceh, 7 Maret 2010. [Heri Juanda/AP]

Satu hal yang menonjol terlihat dari video dan foto-foto 42 acara sosialisasi tersebut adalah usia anggotanya. Dengan demikian, banyak militan muda yang berkomitmen menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan politik mereka akan cenderung membelot ke kelompok lain.

Dengan hancurnya JAD dan ketiadaan pemimpin, aparat keamanan baru-baru ini berfokus pada Negara Islam Indonesia (NII), termasuk melakukan dua penangkapan lagi pada bulan November 2024.

Kita juga tidak tahu bagaimana sikap anggota-anggota penting JI yang belum lama ini ditangkap atau sedang dalam persidangan seperti Farid Okbah, Fitria Sanjaya, Anung Al-Hamat, dan Ahmad Zain An-Naja.

Tapi untuk saat ini, tanggung jawabnya ada di negara untuk mendanai program-program pembubaran mereka dengan lebih baik dan bekerja sama dengan LSM dan aktor-aktor negara lainnya untuk mengamankan mata pencaharian anggota mereka.

Ribuan mantan anggota JI telah berjanji setia kepada Republik Indonesia, dan "kesatuan dalam keberagaman"-nya. Pertanyaannya sekarang adalah, dapatkah negara memenuhi janjinya?

Zachary Abuza adalah profesor di National War College in Washington dan asisten profesor di Georgetown University. Opini yang dikemukakan di sini adalah miliknya sendiri dan tidak mencerminkan posisi Departemen Pertahanan AS, National War College, Georgetown University atau BenarNews.
Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.