Bayangan suram di Asia Tenggara dengan kemenangan elektoral Prabowo

Ada sejumlah alasan untuk khawatir dengan terpilihnya Prabowo, demikian analis Zachary Abuza.
Opini oleh Zachary Abuza
2024.02.16
Bayangan suram di Asia Tenggara dengan kemenangan elektoral Prabowo Prabowo Subianto, mantan jenderal Kopassus yang pada waktu itu adalah calon presiden, menyapa para jenderal TNI AD saat menghadiri perayaan hari ulang tahun ke-67 Kopassus di Jakarta, 24 April 2019.
Willy Kurniawan/Reuters

Prabowo Subianto mengklaim kemenangan besar dengan hampir 60% suara dalam pemilihan presiden Indonesia minggu ini menurut hasil sejumlah perhitungan cepat berdasarkan jajak pendapat keluar.

Meskipun hasil resmi perhitungan suara baru akan diumumkan pertengahan Maret, selisih kemenangan Prabowo yang besar melawan kedua calon presiden lainnya, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, yang dikombinasikan dengan hasil dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, hasil dari perhitungan cepat ini cukup meyakinkan.

Indonesia adalah negara terbesar berdasarkan jumlah populasi dan produk domestik bruto di Asia Tenggara, karena itu pemilu di negara demokrasi ini menjadi berarti bagi perkembangan demokrasi di kawasan Asia Tenggara.

Sebagaimana yang terjadi dengan pemilu di Myanmar pada 2020, Malaysia dan Filipina pada 2022, dan Thailand pada 2023, pelaksanaan pemilu Indonesia berjalan dengan baik.

Pejabat-pejabat Komisi Pemilihan Umum Daerah telah memastikan aspek performatif demokrasi, termasuk mendirikan tempat pemungutan suara di seluruh Indonesia, pendaftaran partai dan kandidat, dan perhitungan cepat suara. Semua ini telah memperkuat keyakinan pada proses pemilihan umum.

Dalam kasus Indonesia, sekitar 5,7 juta petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara berhasil menjalankan pemilu yang lancar dan damai di seluruh 17.000 pulau yang ada di Indonesia.

Sejumlah alasan untuk khawatir

Namun, ada beberapa alasan untuk khawatir.

Di Malaysia dan Thailand, terjadi periode ketidakstabilan pasca-pemilu karena kesulitan dalam membentuk pemerintahan. Di Malaysia, parlemen hampir bubar sehingga Raja Malaysia harus turun tangan.

Di Thailand, partai pemenang dengan jumlah elektoral terbesar, Partai Move Forward, dicegah oleh Senat yang diangkat oleh militer, untuk membentuk mayoritas pemerintahan. Dan tentu saja, di Myanmar, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) digulingkan dalam kudeta sebelum mereka bisa duduk di Parlemen, pada Februari 2021

Di Indonesia, Prabowo memenangkan pemilu dengan meyakinkan pada 14 Februari sehingga tidak perlu putaran kedua pada bulan Juni. Tetapi Prabowo tidak akan dilantk sebagai presiden hingga Oktober, kecuali Parlemen memajukan tanggalnya. Ini berarti akan ada masa jabatan presiden yang tertunda dan Prabowo – yang dikenal tidak sabar – akan gelisah untuk memulai masa jabatannya.

Ada banyak transaksi politik yang akan berlangsung di Indonesia dari sekarang hingga Oktober, terutama karena koalisi Prabowo saat ini hanya memiliki sekitar 33% dari kursi di legislatif nasional; partainya sendiri, Gerindra, berada di peringkat ketiga. Dia akan mencoba merayu partai-partai Islam sentris dan konservatif dalam koalisi lawannya untuk membentuk mayoritas yang berfungsi di parlemen.

240216_ID_photo2.jpeg

Pendemo memegang poster bergambar pemimpin Myanmar yang digulingkan Aung San Suu Kyi saat mereka mengadakan demonstrasi memprotes kudeta di Mandalay, Myanmar, 15 Februari 2021. [Foto file AP]

Kemenangan Prabowo juga berkaitan dengan amnesia di kawasan akan sejarahnya.

Kalaupun ada yang bisa diingat, catatannya bukan dari pemilu Indonesia melainkan dari pemilihan presiden Filipina tahun 2022.

Dalam pemilihan presiden itu, Ferdinand Marcos Jr. mencapai kulminasi kampanye selama puluhan tahun untuk menutupi sejarah kediktatoran dan kleptokrasi keluarganya. Ia menghindari keterlibatan dengan media arus utama, namun menyampaikan pesan yang efektif dan target sasaran yang mikro di media sosial, dan menampilkan “dokumenter” pesanan keluarga Marcos yang bernuansa nostalgia dan film biografi tentang keluarga Marcos kepada para pemilih,

Dengan 52% penduduknya berusia di bawah 40 tahun, mayoritas penduduk tidak memiliki ingatan tentang era Marcos, yang berakhir pada tahun 1986. Tim kampanye Prabowo mengikuti dengan sempurna pedoman kampanye Marcos.

Prabowo, 72 tahun, benar-benar mengubah citra dirinya. Pada tahun 2014 dan 2019, ia berkampanye di stadion dan tampil berseragam di atas kuda jantan putih untuk menunjukkan citra bela diri dan berwibawa, seraya berjanji untuk mengembalikan Indonesia ke pemerintahan yang kuat.

Kali ini, ia berkampanye sebagai sosok seorang kakek yang menggemaskan memakai hoodie, dengan memviralkan video TikTok yang menampilkan dirinya berjoged dengan canggung, dan video kucing. Terpilihnya Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang masa jabatannya sudah habis, menunjukkan hubungan ayah-anak yang mengayomi – jauh berbeda dari masa lalu Prabowo sebagai tersangka penjahat perang.

Pemilih muda menjadi kunci.

Hampir 60% pemilih di Indonesia berusia di bawah 40 tahun, dan tidak mempunyai ingatan akan masa-masa Prabowo sebagai menantu Soeharto, komandan pasukan khusus di Timor Timur, dan mantan pemimpin militer yang pergi diasingkan setelah mengobarkan kerusuhan massal di kawasan Pecinan Jakarta pada Mei 1998.

240216_ID_3-prabowo.jpeg

Calon presiden Indonesia Prabowo Subianto memberikan salam setelah mencoblos di Bojong Koneng, Indonesia, 14 Feb 2024. [Vincent Thian/AP]

Di kawasan yang menginginkan adanya muka-muka baru, pemilu di Indonesia menjadi penanda kembalinya muka lama. 

Marcos dibesarkan di Istana Malacañang selama ayahnya memerintah dengan tangan besi.

Paetongtarn, putri mantan perdana menteri Thailand Thaksin Shinawatra, sekarang menjadi ketua partai Pheu Thai, dan generasi terakhir politisi Malaysia terus mendominasi berita utama di media-media Malaysia.

NLD terus didominasi oleh politisi-politisi dari Generasi 88, sementara di Kamboja baru saja terjadi transisi dinasti ke Hun Manet dan keturunan dinasti politik lainnya.

Meskipun kemenangan Jokowi pada pemilu tahun 2014 menandakan kepemimpinan nasional pasca-Orde Baru, hal ini juga menandai pecahnya politik dinasti di Indonesia. Naiknya kekuasaan Prabowo, mantan menantu Soeharto, mencerminkan kembalinya keduanya.

Yang lebih meresahkan banyak orang di kalangan pemilih adalah pencalonan Gibran sebagai wakil presiden yang mengubah Jokowi menjadi politisi dengan dinasti baru, dan menjadi noda pada warisan presiden yang masih populer ini.

Di Malaysia, terdapat kekhawatiran yang sangat besar mengenai “gelombang hijau” setelah pemilu tahun 2022, ketika partai Muslim konservatif PAS memenangkan jumlah kursi parlemen terbanyak.

Koalisi Perikatan Nasional yang merupakan oposisi telah meningkatkan wacana politik identitas melawan pemerintahan Anwar Ibrahim. PAS dan Bersatu, dua partai di Malaysia yang senjata andalannya adalah memainkan kartu ras dan agama, bersatu.

Di Indonesia, empat partai Islam yang secara konsisten meraih suara dalam lima pemilu terakhir, mendapatkan perolehan suara yang hampir sama seperti pada tahun 2019, yaitu sebesar 20,35%. Namun berbeda dengan Malaysia, mereka bukanlah sebuah blok suara pemilih yang bersatu, apalagi bermitra dalam koalisi yang sama.

Selain itu, upaya-upaya ekstremis untuk menyebarkan disinformasi sebagian besar gagal mendapatkan dukungan, sementara kampanye berjalan relatif lancar bebas dari polarisasi retorika agama.

Anies yang selama ini mengandalkan politik identitas hanya memperoleh sekitar 22% suara. Jadi, meskipun politik identitas masih menjadi pemenang pemilu di Malaysia, yang bahkan pemerintahan multi-etnis Anwar menjadi kaki tangan dari suara Muslim konservatif, hal ini tidak terjadi di Indonesia.

Jokowi membuat preseden dengan mendirikan tenda besar koalisi dengan mengajak Prabowo sebagai Menteri Pertahanan. Apakah Prabowo juga dapat merangkul para pesaingnya dengan semangat rekonsiliasi nasional. Namun Pita dan partai Move Forward menunjukkan betapa efektif dan pentingnya demokrasi berfungsi jika terdapat oposisi yang kuat dan aktif di parlemen.

Ganjar dan Anies bisa saja tergoda untuk bergabung dalam pemerintahan, namun akan ada nilai tersendiri bagi mereka bila mereka menjadi oposisi yang kuat.

240216_ID_bongbong.jpeg

Presiden AS Joe Biden (kanan) dan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. berjalan di West Colonnade menuju Oval Office setelah upacara penyambutan untuk Marcos di Gedung Putih di Washington, 1 May 2023. [Leah Millis/Pool via AP]

Tentu saja terdapat kekhawatiran besar mengenai dampak kepresidenan Prabowo bagi masa depan demokrasi Indonesia, dimana kebebasan pers sudah mengalami kemunduran.

Prabowo terlibat dalam kejahatan perang dan dikeluarkan dari militer sehubungan dengan penculikan aktivis pro-demokrasi, namun Prabowo membantah tuduhan ini. Prabowo dilarang masuk Amerika Serikat karena catatan hak asasi manusianya, hingga ia menjadi Menteri Pertahanan pada tahun 2019. Pada pemilu awal tahun itu, ia sempat mengancam akan mengerahkan pendukungnya untuk membatalkan hasil pemilu 2019.

Sebagai Menteri Pertahanan, ia terus melaksanakan program Bela Negara yang mengakibatkan hilangnya otoritas sipil militer pada tahun 1998-1999.

Kebijakannya mengenai keamanan dalam negeri, khususnya di wilayah rawan konflik di Papua, masih sangat meresahkan.

Walaupun cenderung otoriter, ia mungkin dibatasi oleh terbatasnya dukungan rakyat, tingginya tingkat kepuasan publik terhadap demokrasi, dan terbatasnya dukungan parlemen.

Ada sebagian kalangan di militer yang tidak percaya padanya, karena rekam jejaknya, temperamennya, dan manajemen yang lemah di Kementerian Pertahanan. Sangat berbeda dengan yang terjadi di Thailand, militer Indonesia justru sekarang dianggap sebagai penjamin demokrasi.

240116_Myanmar-junta.jpeg

Pimpinan junta Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, yang menggulingkan pemerintahan terpilih dalam kudeta pada Februari 2021, memimpin parade militer di perayaan Hari Angkatan Bersenjata di Naypyidaw, Myanmar, 27 Maret 2021. [Stringer/Reuters file photo]

Dan seperti yang ditulis oleh analis Filipina Richard Heydrian dalam Journal of Democracy, meskipun ada kekhawatiran serupa mengenai demokrasi yang tidak liberal di bawah pemerintahan Marcos, sejauh ini belum ada langkah melalui undang-undang atau proses peradilan yang dapat melemahkan demokrasi.

Ada kekhawatiran yang jauh lebih besar mengenai demokrasi di Thailand karena elit politik dan militer terus bergantung pada institusi-institusi yang tidak dipilih dalam pemilu untuk memantau politik elektoral.

Harus ada kekhawatiran mengenai munculnya demokrasi tidak liberal di Indonesia.

Namun, untuk sementara ini, masyarakat Indonesia harus puas dengan apa yang sudah berhasil dicapai sejauh ini.

Sejak Prabowo memicu kerusuhan di kawasan Glodok Jakarta di tahun 1998, Indonesia telah menyelenggarakan enam pemilu nasional, dan mengkonsolidasikan supremasi hukum di setiap langkahnya. Dan hal ini penting bagi kawasan Asia Tenggara.

Zachary Abuza adalah profesor di National War College di Washington dan asisten profesor di Universitas Georgetown. Opini yang dikemukakan di sini adalah pendapatnya sendiri dan tidak mencerminkan posisi Departemen Pertahanan AS, National War College, Universitas Georgetown, atau BenarNews.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.