Bagaimana Indonesia Harus Merespons Gelombang Teror
2018.05.18
Beberapa hari menjelang Ramadan 2018, Indonesia dikejutkan oleh serentetan serangan teroris. Ini adalah salah satu serangan terburuk yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir yang mengakibatkan 48 orang tewas, termasuk anggota dua keluarga pelaku bom bunuh diri di Surabaya.
Peta berubahnya ancaman di Indonesia terbukti dalam serangkaian insiden, termasuk kerusuhan selama 40 jam di Mako Brimob Depok, yang dimulai pada 8 Mei, menewaskan lima aparat; penikaman dan pembunuhan seorang perwira polisi di Mobile Intelligence Unit di Depok pada 10 Mei; serangan tiga gereja di Surabaya pada 13 Mei, diikuti oleh peledakan bom di sebuah rumah susun di Sidoarjo; serangan terhadap markas polisi kota Surabaya pada 14 Mei; dan serangan teroris yang menargetkan markas polisi di Pekanbaru yang menewaskan seorang polisi di Pekanbaru, Riau.
Sementara kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) memberikan panduan umum atas taktik dan target, serangan itu dilakukan oleh Jamaah Ansharut Daulah (JAD), kelompok militan Indonesia yang telah berbaiat kepada ISIS.
Pihak berwenang Indonesia mengetahui dalang dan pelaku tetapi karena undang-undang anti-terorisme yang lemah di Indonesia, ancaman tersebut tidak dapat dicegah.
Karena dukungan dan infrastruktur operasional ISIS masih utuh, Indonesia perlu melakukan dua hal untuk melawan kelompok ekstrim itu.
Pertama, merevisi undang-undang terorisme untuk meningkatkan kekuatan yang diperlukan dalam mematahkan dukungan terhadap terorisme, mulai dari propaganda hingga rekrutmen, pembiayaan, dan perjalanan.
Kedua, harus ada transformasi dari kerjasama anti-terorisme ke kolaborasi di mana militer, penegak hukum dan intelijen, melakukan pertukaran personel, membuat database umum, melakukan pelatihan dan operasi bersama, serta berbagi keahlian, sumber daya, dan pengalaman.
Jika Indonesia tidak mampu mengurangi atau mematahkan infrastruktur ancaman pusat ISIS secara efektif, tidak menutup kemungkinan akan terjadi aksi teror lagi dalam beberapa minggu atau bulan mendatang.
Konteks
ISIS mengembangkan sayapnya di seluruh dunia karena pusat medan perangnya di Irak dan Suriah menyusut.
Bertentangan dengan penilaian oleh pemerintah Barat dan pemerintah lainnya bahwa fase teror ISIS telah berakhir, kelompok ini telah membangun dukungan dan infrastruktur operasional yang canggih secara global. Termotivasi oleh ideologi ISIS, wilayats (wilayah), jaringan, sel dan kelompok-kelompok bentukan ISIS menghadirkan ancaman jangka panjang bagi negara-negara Barat, Kaukasus, Afrika, Timur Tengah dan Asia.
Asia memiliki 63 persen populasi Muslim dunia. Indonesia, negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, maka ancamannya juga semakin besar.
Bertentangan dengan penilaian dengan meningkatnya operasi koalisi di Irak dan Suriah, ancaman di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, tidak pernah bisa dinetralisir atau berkurang.
Meskipun detasemen khusus polisi Indonesia Densus 88 (D88) dan satuan tugas anti-pemboman sangat handal, mereka jumlahnya kecil dibandingkan dengan jumlah simpatisan, pendukung, dan operator ISIS dan saat ini.
Ancaman ISIS telah menjamur dari Sumatra hingga ke Papua meskipun berbagai upaya oleh D88 untuk menangkap mereka yang mempersiapkan serangan teror.
Hukum Indonesia menghalangi penangkapan ideolog ISIS/JAD, propagandis, perekrut, operator, dan pendukung terorisme kecuali mereka melakukan serangan.
Ancaman ideologis menyebar di ruang cyber dan mengkristal dalam bentuk dukungan dan sel-sel operasional. Penguasaan teknologi ISIS, khususnya enkripsi, telah membatasi pemerintah untuk mendeteksi sejumlah jaringan, sel, dan individu.
Kesimpulan
Aparat penegak hukum, militer, keamanan dan intelijen Indonesia bersiaga mengantisipasi gelombang kekerasan selama bulan Ramadhan. Namun serangan teror telah terjadi sebelum “Ramadan Rage” sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan lonjakan serangan teror di seluruh dunia. ISIS menanamkan keyakinan bahwa pelaku serangan akan dihargai lebih besar jika mereka menyerang “musuh-musuh Tuhan” dalam bulan tersuci umat Islam tersebut.
Sampai undang-undang anti terorisme yang baru disahkan, di Indonesia bukanlah pelanggaran untuk memberikan dukungan kepada para pemimpin ISIS, mempromosikan propaganda ISIS, mengumpulkan dana, bahkan melakukan perjalanan ke wilayah ISIS, seperti Irak, Suriah, Filipina dan tempat lainnya.
Indonesia adalah rumah bagi beberapa ribu pendukung ISIS yang aktif dan beberapa ratus anggota ISIS. Banyak dari mereka memiliki hubungan dengan lebih dari 60 kelompok ancaman di Asia Tenggara yang telah berbaiat (berjanji setia) kepada pemimpin ISIS Abu Bakr al-Baghdadi.
Wilayah ini selalu meremehkan ancaman al-Qaeda dan ISIS, dan menderita serangan teror secara berkala sejak tahun 2001.
Dengan ekspansi global ISIS, pemerintah tidak punya pilihan, selain bekerja bersama-sama, atau, di depan mata mereka, menyaksikan wilayah ini jatuh dalam jurang kekacauan. Para pemimpin harus tidak hanya beretorika namun harus menunjukkan tekad serius mereka untuk melawan balik, menahan, mengisolasi dan menghilangkan ancaman ini.
Rohan Gunaratna adalah profesor Studi Keamanan di Sekolah Studi Internasional S. Rajaratnam di Universitas Teknologi Nanyang dan kepala Pusat Internasional untuk Kekerasan Politik dan Penelitian Terorisme di Singapura.
Pendapat yang dikemukakan dalam kolom opini ini adalah milik pribadi penulis dan bukan dari BeritaBenar.