Rancangan Perpres Tekankan Peran Militer dalam Kontra Terorisme
2020.05.18
Tindakan President Joko “Jokowi” Widodo mengirim rancangan Peraturan Presiden tentang tugas TNI menangani terorisme menunjukkan peran militer yang menguat dalam pemberantasan terorisme.
Hal itu menjadi tonggak terbaru yang menandakan kemunduran terhadap demokrasi di Indonesia dan semakin tergerusnya hubungan sipil-militer, yang terjalin setelah kejatuhan Presiden Suharto di tahun 1998 setelah berkuasa secara represif selama 32 tahun dengan dukungan angkatan bersenjata.
Setelah serangan bom bunuh diri bulan Mei 2018 di Surabaya, DPR bergerak cepat mengesahkan RUU anti-terorisme yang baru. Aparat keamanan berpendapat bahwa Undang-Undang tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang disahkan setelah serangan bom Bali, tidak cukup.
Undang-undang baru tersebut, yang sempat tertunda selama beberapa tahun karena sejumlah pasal yang sangat kontroversial, memberi wewenang kepada aparat keamanan untuk melakukan penahanan sebagai tindakan preventif dan memperpanjang waktu tahanan terhadap tersangka terorisme sebelum mengajukan tuntutan. Undang-undang itu juga memperluas definisi terorisme dan mengkriminalkan tindakan pergi ke luar negeri untuk bergabung dengan kelompok militan.
Namun, pasal yang paling kontroversial adalah pasal yang memberi peran formal kepada TNI dalam memberantas terorisme.
Ada beberapa logika yang mendukung hal ini. Mujahidin Indonesia Timur (MIT), kelompok pertama di Indonesia yang menyatakan kesetiaan kepada ISIS, beroperasi di kawasan hutan lebat Sulawesi Tengah, dan polisi tidak memiliki kemampuan untuk bergerak dalam peperangan di hutan.
Jokowi mengeluarkan keputusan yang sangat kontroversial pada tahun 2015 yang mengizinkan TNI untuk memiliki peran operasional yang sangat terbatas di Poso. Setelah itu, Operasi Tinombala dibentuk, sementara MIT terdegradasi dengan signifikan setelah pimpinannya, Santoso, terbunuh, meskipun mereka tetap bertekad untuk berkumpul kembali.
Pada Juni 2015, Panglima TNI saat itu, Jenderal Moeldoko, membentuk Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab), yang terdiri dari pasukan angkatan darat, laut dan udara.
Namun, panglima TNI berikutnya, Jenderal Gatot Nurmantyo, dengan cepat membubarkan kelompok itu, dan mengatakan bahwa ia prihatin dengan reaksi politik sehubungan dengan kurangnya dasar hukum TNI untuk operasi kontra teror.
Namun sejak itu, memperoleh otoritas legal dalam pemberantasan terorisme menjadi prioritas utama bagi TNI.
Persaingan dengan polisi menjadi satu faktor. TNI telah lama berada dikenakan berbagai sanksi internasional karena dugaan atas keterlibatan TNI dalam pelanggaran hak asasi manusia sejak perang di Timor Timur pada awal 1990-an.
Sementara itu, polisi sejak 2003 telah menerima bantuan internasional yang signifikan, dalam bentuk pelatihan dan peningkatan kapasitasnya. TNI melihat kontraterorisme sebagai cara untuk mendapatkan tambahan anggaran dan potensi sebagai penerima bantuan internasional.
Cengkeraman balik
Kekhawatiran sejumlah aktivis HAM dan demokrasi akan perpres Jokowi beralasan.
Desakan dari TNI untuk mempunyai peran formal dalam kontraterorisme harus dilihat sebagai bagian dari kembalinya TNI dalam otoritas sipil. TNI melepaskan peran ini setelah jatuhnya rezim Orde Baru 22 tahun yang lalu.
Menteri pertahanan pertama Jokowi, Ryamizard Ryacudu, mengidentifikasi narkotika ilegal, separatisme, komunisme, dan pemenuhan hak-hak LGBTQ sebagai ancaman terbesar bagi negara. Ryamizard mendukung program pertahanan nasional, Bela Negara, yang mendefinisikan peran militer dalam administrasi sipil, keamanan internal, dan keamanan pangan.
Serangan bom Surabaya menjadi pembenaran yang diperlukan TNI untuk mengambil peran formal dalam kontraterorisme. Pada 18 Mei 2018, beberapa hari setelah pemboman, namun sebelum disahkannya UU Anti-Terorisme yang baru, presiden telah mengesahkan pengaktifan kembali Komando Operasi Khusus Gabungan.
Pada bulan Juli 2019, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengumumkan pembentukan pasukan kontra-terorisme militer yang berkekuatan 500 personel Kopassus, dan meminta tambahan anggaran negara sebesar 1,5 triliun rupiah (US $ 101,6 juta) untuk menyiapkan pembelian peralatan baru.
Preseden yang berbahaya
Militer mendapatkan peran yang lebih besar dalam kontraterorisme adalah preseden yang berbahaya. Tetapi apakah hal itu perlu?
Sebagai catatan, polisi Indonesia dan khususnya pasukan kontraterorisme elit mereka, Densus-88, telah melakukan pekerjaan luar biasa dalam mengurangi ancaman. Sulit untuk mengatakan bahwa mereka tidak memiliki kekuatan dan sumber daya yang memadai. Pada 2019, pasukan Densus-88 bertambah besar dua lipat, dan sekarang beroperasi di setiap provinsi. Jamaah Ansharut Daulah (JAD), kelompok induk bagi simpatisan ISIS di Indonesia, mengalami degradasi yang signifikan.
Operasi kontraterorisme baru-baru ini setelah pemboman bunuh diri pada bulan November 2019 di Medan dan penikaman pada Jenderal Wiranto, menteri koordinator politik dan keamanan, telah menyebabkan penangkapan puluhan tersangka. Demikian juga, para pejabat anti terorisme memiliki pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana Jemaah Islamiyah telah berkumpul kembali.
Operasi kontraterorisme yang baru-baru ini dilakukan setelah serangan boman bunuh diri di Medan pada bulan November 2019 dan penyerangan kepada Menkopolhukam Jenderal (Purn.) Wiranto, membuahkan hasil dengan ditangkapnya puluhan tersangka. Selain itu, para pejabat anti terorisme menjadi lebih paham tentang bagaimana Jemaah Islamiyah terbentuk kembali.
Ada juga kekhawatiran yang sangat sah tentang bagaimana keterlibatan militer dalam kontraterorisme akan berdampak pada kasus-kasus pengadilan dan penyelidikan lainnya. Personil militer dilatih untuk melancarkan kekuatan yang mematikan. Para pejabat tinggi militer berpendapat bahwa mereka dapat dikerahkan dengan cepat, namun mereka tidak dilatih untuk menangkap, mengumpulkan bukti dan mempertahankan rantai bukti dan tahanan yang akan diterima di pengadilan.
Hubungan sipil-militer
Jokowi berjanji akan mengeluarkan perpres yang secara resmi menjelaskan kondisi-kondisi dimana militer dapat terlibat dalam upayan kontraterorisme.
Dalam UU anti terorisme 2018, dimaksudkan militer bahwa militer hanya bisa beroperasi di bawah koordinasi polisi dan Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan tidak melakukan operasi independen. Meskipun ini jauh dari apa yang dituntut, dengan berada di bawah rantai komando polisi, Jokowi berjanji akan membatasi peran militer.
Namun adanya kepentingan yang saling bersaing telah menyebabkan penyusunan Perpres menjadi berlanjut-lanjut. Dan draft pedoman yang muncuk sepertinya menunjukkan TNI muncul sebagai pemenang.
Ketentuan yang paling kontroversial dalam perpres ini adalah bahwa militer tidak lagi harus melakukan operasinya dalam koordinasi dengan polisi.
Pemilihan kata-kata dalam perpres ini sengaja dibuat kabur dan tidak mendefinisikan apa yang dimaksud sebagai “operasi lain”. Ada kekhawatiran bahwa hal itu dapat digunakan untuk menargetkan lawan politik, atau aktivis tanpa kekerasan di tempat-tempat seperti Papua.
Anggota DPR telah memperingatkan bahwa pedoman itu tidak cukup spesifik, tetapi tampaknya tidak mungkin bahwa presiden akan menghadapi tekanan politik yang berkelanjutan baginya untuk mengubah perpres, dan dia memiliki dukungan yang cukup di DPR untuk mengesahkan rancangan perpres itu.
Jadi mengapa presiden tunduk pada tuntutan TNI?
Pertama, Jokowi telah membuktikan selama masa jabatan pertamanya bahwa dirinya bukan seorang reformis politik seperti yang diharapkan banyak orang. Meskipun dikenal sebagai presiden pertama yang tidak memiliki hubungan dengan rezim Orde Baru, Jokowi secara refleks lebih berhati-hati dan konservatif daripada yang diperkirakan banyak orang.
Mendekati para jenderal telah memperkuat posisinya, terutama menjelang pemilihan presiden 2019, ketika penantangnya, Prabowo Subianto, akan menjadikan isu keamanan sebagai landasan kampanye melawannya.
Kedua, hal ini hanya akan membuat Jokowi menjadi semakin tergantung pada militer, yang telah ia kerahkan dalam penanganannya yang buruk melawan pandemi COVID-19.
Jokowi telah menempatkan para jenderal, bukan pejabat kesehatan masyarakat di sekelilingnya, dan telah memungkinkan militer untuk mengambil peran utama dalam menanggapi pandemi. Pemerintah telah berusaha untuk membungkam kritik terhadap penanganan COVID-19, dan ada laporan bahwa pemerintah tidak akan lagi menyediakan statistik harian tentang wabah tersebut. Hal ini menjadi catatan buruk terbaru dalam transparansi pemerintah.
Sangat terlihat ada jejak sidik jari militer di sini.
Zachary Abuza adalah seorang professor di National War College dan Georgetown University di Washington dan penulis buku “Forging Peace in Southeast Asia: Insurgencies, Peace Processes, and Reconciliation.” Opini yang ditampilkan dalam artikel ini adalah miliknya dan tidak menjadi refleksi dari posisi Departemen Pertahanan AS, National War College, Georgetown University atau BenarNews.