Langkah Penting, Patroli Bersama Tiga Negara di Laut Sulu

Sumber daya yang mumpuni dan komitmen politik yang berkesinambungan dibutuhkan untuk menyukseskan upaya yang penuh tantangan ini.
Zachary Abuza
2017.06.19
ID_MY_PH_patrols2_620.jpg Menteri Pertahanan Malaysia Hishammuddin Hussein (kiri), Menteri Pertahanan Indonesia Ryamizard Ryacudu, dan Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana dalam jumpa pers yang digelar di atas KRI Dr Suharso, di Kalimantan Utara, Indonesia, 19 Juni 2017.
Gunawan/BeritaBenar

Para menteri pertahanan tiga negara -Indonesia, Malaysia, dan Filipina- meresmikan perjanjian maritim trilateral untuk patroli pengamanan laut Sulu dari ancaman bajak laut. Langkah ini mungkin sudah ditunggu sejak lama, namun dikhawatirkan tidak sesuai harapan.

Perjanjian serupa sebelumnya ditandatangani oleh para kepala negara dari tiga negara, 9 September 2016, namun belum dapat diimplementasikan karena berbagai alasan.

Perjanjian yang ditandatangani bulan September lalu merupakan buntut dari serangkaian penculikan yang dilakukan kelompok Abu Sayyaf di wilayah Laut Sulu sejak bulan Maret 2016. Para anggota kelompok itu menyasar korbannya yang merupakan nelayan kapal-kapal kecil. Aksi ini berimbas pada perdagangan maritim.

Indonesia, misalnya, secara sepihak menghentikan ekspor batu bara ke Filipina, senilai 700 juta dolar setahun, yang merupakan penyuplai 70 persen energi di Kepulauan Mindanao.

Indonesia bahkan mengancam akan melancarkan aksi militer sepihak demi menyelamatkan para warga negara Indonesia yang menjadi sandera.

Pertemuan antara para petinggi militer Indonesia dan tokoh-tokoh politik di Jakarta yang tidak tampak sebagai perwakilan ASEAN ini bertujuan untuk menekan Filipina, yang langsung diamini dan diikuti dengan masalah pengejaran militer.

Meskipun perjanjian telah disetujui, aksi-aksi kejahatan di laut terus berlangsung. Sejak Maret 2016 hingga Mei 2017 saja, Abu Sayyaf telah melakukan sedikitnya 17 penculikan, menyandera 70 orang awak kapal dari enam negara.

Sedikitnya 50 orang lainnya berhasil melarikan diri atau dilepaskan. Lima orang lainnya tewas. Kelompok militan ini bahkan berhasil menyandera kapal-kapal besar, termasuk dua kapal kargo milik Korea Selatan dan Vietnam.

Pemicu akhir: Marawi

Pendudukan Kota Marawi, Filipina, oleh kelompok Abu Sayyaf dan Maute dari Mei hingga Juni ini merupakan alasan terkini agar perjanjian tersebut segera dilaksanakan. Kedua kelompok ini telah menyatakan diri menjadi bagian dari kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Memasuki pekan kelima, angkatan bersenjata Filipina terus memerangi kelompok ini dan berupaya mengambil alih kembali kota tersebut.

Hingga saat ini, pejuang asing asal Indonesia, Malaysia, Arab Saudi, Yaman dan Chechnya tewas dalam pertempuran tersebut. Para pejabat badan anti-terorisme Indonesia memperkirakan lebih dari 40 orang militan terbunuh di Marawi.

Seorang petinggi ISIS asal Malaysia termasuk salah satu di antaranya. Jumlah ini diperkirakan akan bertambah.

Sebuah video yang beredar tahun 2016 lalu mengajak orang-orang di Asia Tenggara untuk berperang di Mindanao, jika mereka tidak mampu ke Irak atau Suriah.

Kisah sukses ISIS di Marawi akan terus menarik pengikut. Tanggal 16 Juni silam, pemerintah Malaysia menahan seorang warga lokal dan dua orang berkewarganegaraan Indonesia dalam perjalanan menuju Marawi.

Operasi anti-teror sebelumnya di Sabah telah mengamankan kelompok pemasok logistik Darul Islam Sabah, termasuk dua orang berkewarganegaraan Bangladesh.

Lebih lanjut, sel-sel yang berafiliasi dengan ISIS di Mindanao menguasai daerah tersebut, setelah kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Sulawesi, yang berarti tidak ada kelompok terafiliasi ISIS lainnya yang menguasai daerah tersebut. Kekhalifahan sebuah provinsi tentunya tidak dapat terbentuk tanpa adanya wilayah.

Maka dari itu, para pejuang asing hampir pasti akan terus berdatangan ke Mindanao dan perjanjian maritim sangat penting. Menghentikan pasokan pejuang asing ini amat penting demi menjamin keamanan regional.

Penyebab Kekhawatiran

Meski harapan cukup besar, namun ada sejumlah kekhawatiran yang mengganjal.

Pertama, yakni keterbatasan kekuatan laut dan maritim negara-negara yang bersangkutan. Meski Malaysia terus menambah kekuatan secara signifikan dalam tiga tahun belakangan ini di kawasan perairan Sabah, Indonesia dan terutama Filipina hanya memiliki armada laut yang jumlahnya lebih sedikit.

Padahal jika ingin menerapkan perjanjian ini secara efektif, negara-negara bersangkutan harus menggelar operasi maritim yang konstan dan besar di kawasan perairan tersebut.

Tentu saja hal ini membutuhkan komitmen besar dari ketiga negara. Sayangnya, negara-negara kepulauan seperti Indonesia dan Filipina belum menjadikan keamanan maritim sebagai prioritas.

Kebijakan Maritim yang ambisius yang digaungkan Presiden Joko Widodo belum terlaksana dengan baik, dan kehadiran Pengawas Pantai sulit terlaksana akibat konflik internal birokrasi dan keterbatasan sumber daya.

Kedua, yang mendukung kesuksesan perjanjuan maritim multilateral di kawasan Selat Malaka adalah dibangunnya pusat regional di Singapura. Pemerintah Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand duduk bersama untuk berbagi informasi intelijen dan meneruskannya secara langsung ke komando operasional negara masing-masing. Amerika Serikat juga turut berbagi pengetahuan intelijen ini.

Namun, pusat regional serupa tidak ada dalam kebijakan maritim Laut Sulu. Hanya ada di negara masing-masing, yang menyebabkan terbatasnya upaya berbagi informasi intelijen di antara negara.

Menteri Pertahanan Singapura Ng Eng Hen menawarkan bantuan dan berbagi pengalaman dengan harapan pusat kajian bersama segera dibentuk.

Di pusat kajian bersama Selat Malaka, Singapura memimpin dan menyalurkan sumber dayanya demi menyukseskan upaya ini. Saya sendiri tidak melihat hal serupa akan segera terwujud di Laut Sulu. Namun jika terlaksana, Singapura diharapkan dapat memimpin.

Ketiga, adanya perseteruan tentang batas wilayah maritim. Secara teknis, tidak ada batas wilayah laut antara Malaysia dan Filipina, terkait klaim Manila atas perairan Sabah secara terus-menerus.

Perseteruan batas wilayah maritim antara Malaysia dan Indonesia, terkait konflik Sipadan-Ligitan juga masih membayangi. Hanya ada garis demarkasi maritim antara Indonesia dan Filipina. Sementara Indonesia dan Malaysia bersikeras atas hak pengejaran di perairan Filipina, saya tidak mampu membayangkan Malaysia akan memberikan Indonesia hak yang sama, atau sebaliknya.

Yang terakhir, kebijakan ini masih baru dan melibatkan upaya-upaya keamanan yang kemungkinan besar berujung pada ketidakpercayaan terhadap satu sama lain

Penerapan kebijakan trilateral ini adalah langkah awal yang penting. Menjaga situasi keamanan di selatan Filipina akan berdampak pada keamanan regional. Namun tentu saja hal ini membutuhkan bantuan pihak-pihak luar, komitmen politik yang berkesinambungan dari tiap-tiap negara, dan pengerahan sumber daya.

Zachary Abuza adalah profesor di National War College di Washington dan penulis buku "Menciptakan Kedamaian di Asia Tenggara: Pemberontakan, Proses Damai, dan Rekonsiliasi." Tulisan ini sepenuhnya adalah buah pikiran penulis dan tidak mewakili Kementerian Pertahanan Amerika Serikat, National War College atau BeritaBenar.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.