Bagi Teroris Indonesia, Kemenangan Taliban adalah Contoh Sukses Jangka Panjang
2021.08.23
Jakarta
Dalam pandangan saya, kemenangan Taliban memang dapat merevitalisasi niat organisasi teroris untuk melakukan apa yang dianggapnya sebagai jihad, tetapi hal itu tidak memengaruhi kapasitas kelompok teroris mana pun untuk melakukannya, serta tidak akan secara langsung mengakibatkan mereka untuk mengeskalasi kegiatan.
Kemenangan Taliban mungkin akan berdampak pada cakrawala waktu para militan. Mereka cenderung menyimpulkan bahwa tindakan yang mereka anggap jihad tidak akan berhasil jika dilakukan dengan serangan yang terburu-buru, tetapi akan sukses jika mereka sabar menunggu dan untuk menyusun strategi. Karena itu, apa yang Indonesia harus waspadai pasca jatuhnya Kabul bukanlah meningkatkanya ancaman terorisme dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang.
Ini tentang persepsi
Satu hal yang pasti adalah kemenangan Taliban atas Amerika Serikat di Afghanistan akan merevitalisasi moral para militan karena hal itu menandai “kemenangan propaganda yang jelas” untuk kelompok-kelompok teroris di Asia Tenggara. Kelompok-kelompok militan akan menyambut gembira bahwa Taliban berhasil mengalahkan negara adidaya. Apalagi, banyak militan yang ditemukan membagikan strategi Taliban di seluruh grup WhatsApp setelah jatuhnya Kabul, sementara yang lain mengunggah posting yang menunjukkan bahwa mereka sangat gembira atas apa yang terjadi di Afghanistan.
Peningkatan moral para militan ini mengkhawatirkan, karena dapat membangkitkan komitmen telah yang memudar terhadap keyakinan bahwa suatu kelompok, terlepas dari apa pun rintangan yang terjadi, memang dapat mengalahkan suatu bangsa untuk mendirikan negara Islam.
Serangkaian peristiwa serupa juga telah membantu mendorong apa yang dikatakan oleh seorang pakar, David Rapoport sebagai gelombang keagamaan terorisme modern. “Gelombang agama” ini, yang merupakan periode dimana ada penambahan organisasi teroris berorientasi agama seperti al-Qaeda dan banyak afiliasinya, mengikuti dua peristiwa penting. Pertama: keberhasilan revolusi Iran 1979 dalam menggulingkan Shah Reza Pahlavi. Kedua: keberhasilan yang dianggap sebagai kesuksesan Mujahidin pada tahun 1989 mendorong Uni Soviet keluar dari Afghanistan.
Dalam kedua kasus tersebut, kelompok-kelompok militan terlihat telah mengalahkan pemerintah sekuler, bahkan negara adidaya. Hal tersebut memberikan kepercayaan pada kemungkinan bahwa prestasi seperti itu dapat direplikasi di tempat lain. Kemungkinan inilah yang menyebabkan al-Qaeda, bersama dengan Mujahidin Afghanistan lainnya, untuk menginternasionalisasi perjuangan “jihad” mereka ke negara dan zona konflik lainnya. Kemungkinan ini juga yang menarik banyak militan Indonesia untuk berlatih di Afghanistan bersama al-Qaeda. Mereka inilah yang kemudian menjadi tulang punggung militan Jemaah Islamiyah (JI) dan melakukan Bom Bali 2002, yang merupakan serangan teroris paling fatal di Indonesia hingga saat ini.
Ini tentang kapasitas
Kemenangan Taliban memang dapat meningkatkan moral militan-militan Indonesia, namun tidak berarti aktivitas mereka langsung meningkat dalam jangka pendek. Kebangkitan kegiatan teroris oleh kelompok militan Indonesia setelah 1989 tidak disebabkan oleh inspirasi saja.
Hal itu juga karena, pada saat itu, kelompok-kelompok ini dapat mengakses sumber dana, rekrutmen, dan pelatihan penting yang memungkinkan mereka mewujudkan harapan mereka. Mereka tidak hanya memiliki akses ke tempat yang aman seperti Mindanao dan Afghanistan untuk berlatih, mereka juga memiliki akses langsung ke dana dari al-Qaeda.
Tidak ada indikasi bahwa kemenangan Taliban hari ini akan membuka akses ke sumber daya yang akan meningkatkan kapasitas kelompok teroris Indonesia untuk melakukan serangan dalam waktu yang dekat.
Ada dua alasan mengapa dua hal ini bisa jadi benar. Pertama, saat ini tidak jelas apakah Taliban akan mengizinkan organisasi militan untuk menggunakan wilayah mereka sebagai tempat berlindung untuk mereka berlatih dan berkumpul kembali. Insentif Taliban untuk mendukung terorisme internasional rendah, terutama setelah mereka kehilangan kekuasaan selama dua dekade dan melihat banyak kepemimpinan mereka mati karena mereka memutuskan untuk melindungi Al Qaeda. Jika ada, kita bisa berharap untuk melihat Taliban berusaha secara aktif mencegah kelompok-kelompok tersebut melintasi perbatasan mereka – serupa dengan apa yang terjadi pada tahun 1995, ketika Taliban menutup kamp-kamp JI di Afghanistan.
Kedua, keberhasilan Taliban tidak mengubah fakta bahwa dalam tiga tahun terakhir, Detasemen Khusus 88 (Densus 88) Indonesia telah meluncurkan operasi kontraterorisme besar-besaran terhadap JI dan Jemaah Ansharut Daulah (JAD), yang merupakan organisasi pro-ISIS terbesar di Indonesia. Antara 2018 dan pertengahan 2021, Densus 88 telah menangkap sekitar 1.200 tersangka teroris. Pada 2021 saja, mereka telah menangkap 308 tersangka, sekitar 37 persen di antaranya personel JAD dan 37 persen lainnya adalah personel JI.
Bagi JAD, ini telah melumpuhkan pemimpin-pemimpin pusat mereka, menyebabkan banyak sel beroperasi secara independen atau tanpa koordinasi atau dengan koordinasi seadanya. Bagi JI, hal itu telah mengacaukan “fase pembangunan kembali” yang mereka rencanakan itu akan berlangsung pada 2016, berdasarkan dokumen pengadilan dari sidang 202 pemimpin JI, Para Wijayanto.
Sudah waktunya
Namun, bukan berarti keberhasilan Taliban tidak akan berdampak pada kelompok teroris Indonesia. Jika ada yang dapat dijadikan pelajaran bagi para militan Indonesia dari jatuhnya Kabul, maka strategi yang berhasil adalah strategi yang memiliki jangka waktu yang lama.
Jalan Taliban menuju kemenangan dirints dari tahun-tahun sebelumnya. Mereka dapat mengambilalih Kabul secepat itu karena selama dua dekade, mereka dengan sabar memanfaatkan kesalahan dan kelalaian musuh mereka. Mereka memanfaatkan kemarahan rakyat atas korupsi, keluh kesah, dan kematian; mereka mendirikan sistem pemerintahan bayangan yang menyelesaikan perselisihan setempat dan menyediakan layanan sosial yang penting; dan mereka menggunakan keluh kesah yang tidak tersalurkan tersebut untuk meningkatkan basis dukungan mereka. Upaya itu berhasil ketika ada kesempatan bagi mereka untuk melakukan serangan terakhir.
Hal inilah yang kemungkinan besar akan diambil sebagai pelajaran bagi kelompok-kelompok seperti JI yang, seperti halnya Taliban, dalam satu dekade terakhir dengan sabar membangun fondasi sosial, pendidikan, dan ekonomi sebuah komunitas yang dapat mereka andalkan untuk mendukung usaha mereka. Di saat JI sedang terpukul mundur oleh operasi kontra-terorisme yang agresif, keberhasilan Taliban akan mengingatkan mereka bahwa kemenangan masih sangat mungkin dalam jangka panjang.
Alif Satria adalah peneliti di Departemen Ilmu Politik dan Perubahan Sosial, CSIS Indonesia. Analisisnya terfokus pada terorisme dan kekerasan politik di Asia Tenggara. Opini yang ditampilkan di sini adalah pandangan pribadinya dan tidak mencerminkan posisi CSIS Indonesia atau BenarNews.