Tren kekerasan kolektif meningkat di Indonesia

Sebagian besar insiden berskala kecil, namun tidak dapat diabaikan.
Opini oleh Alif Satria
2022.06.22
Tren kekerasan kolektif meningkat di Indonesia Polisi menggiring terduga pelaku perkelahian antar gang yang merenggut sejumlah korban jiwa di sebuah klub malam di Sorong, Provinsi Papua Barat, 29 Januari 2022.
[AFP]

Situasi di Indonesia saat ini jauh lebih damai dibandingkan dengan awal 2000-an. Kekerasan separatis skala besar atau konflik sektarian seperti yang terjadi di Aceh dan Maluku tahun 1999 hingga 2003 tidak terjadi lagi.

Serangan teroris masih terjadi secara berkala, namun tingkat fatalitasnya telah menurun secara signifikan dibandingkan dengan yang terjadi pada awal tahun 2000-an. Serangan Bom Bali 2002 mengakibatkan lebih dari 500 orang menjadi korban – termasuk 202 orang diantaranya meninggal; sementara 20 orang luka-luka dalam serangan Bom Makassar tahun 2021.

Beberapa studi dari tahun 2015 menunjukkan bahwa setelah tahun 2003, sebagian besar konflik di Indonesia adalah tindakan kekerasan kolektif berskala kecil – kekerasan yang dilakukan oleh atau terhadap sekelompok orang, yang berkisar dari pengeroyokan kriminal oleh penduduk desa, hingga demonstrasi ricuh terkait sengketa tanah.

Sebuah database baru yang disusun oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta menunjukkan gambaran holistik mengenai tren kekerasan kolektif terkini. Database Collective Violence Early Warning (CVEW) mendata semua insiden kekerasan kolektif yang diberitakan pada tahun 2021, termasuk kekerasan antarkelompok, seperti konflik antar desa; kekerasan oleh kelompok terhadap individu, seperti pengeroyokan massa; dan kekerasan oleh aparat negara terhadap sebuah kelompok, seperti kekerasan oleh penegak hukum.

Tren

Kekerasan kolektif di Indonesia bukanlah fenomena langka. Di tahun 2021, Indonesia mengalami total 1.221 insiden kekerasan kolektif – atau rata-rata tiga hingga empat insiden setiap hari.

Lebih memprihatinkan lagi, data menunjukkan angka itu terus meningkat. Selama kuartal pertama 2021, terjadi total 206 insiden kekerasan kolektif di Indonesia – angka ini naik hampir 80 persen menjadi 370 di kuartal keempat.

Namun, walaupun insiden kekerasan kolektif biasa terjadi, insiden tersebut jarang yang mematikan atau berskala besar. Sepanjang tahun 2021, hanya satu dari enam insiden yang mengakibatkan kematian. Jika dihitung korban meninggal dan cedera, kekerasan kolektif hanya menghasilkan tingkat korban 1,7 per insiden.

Memang, satu dari tiga insiden kekerasan kolektif pada tahun 2021 adalah tindakan main hakim sendiri berskala kecil, seperti massa yang menyerang pelaku kriminal atau anggota geng yang mencoba membalas dendam temannya.

Walau kekerasan yang terjadi berskala kecil, bukan berarti hal tersebut dapat diabaikan. Sepanjang tahun 2021, kekerasan kolektif menewaskan lebih dari 294 orang dan melukai lebih dari 1.111 orang.

Selain itu, kekerasan skala kecil dapat tereskalasi menjadi konflik yang lebih besar. Salah satu contoh peenting adalah konflik antara penduduk desa dan polisi setempat di Tamilouw, Maluku Tengah pada Desember 2021. Blokade oleh penduduk desa yang ingin mencegah polisi menangkap warga mereka, tereskalasi dengan cepat hingga melibatkan ratusan petugas dan mencederai lebih dari 25 orang.

Temuan lain yang tidak bisa diabaikan adalah kekerasan yang terjadi Papua. Pertama, dari seluruh provinsi di Indonesia, Papua memiliki intensitas konflik tertinggi berdasarkan jumlah penduduk. Pada tahun 2021, Papua mengalami rata-rata 22 insiden per 1 juta orang – hampir empat kali lipat rata-rata nasional.

Kedua, Papua merupakan provinsi dengan jumlah korban insiden kekerasan kolektif terbanyak. Sepanjang tahun 2021, kekerasan kolektif di Papua mengakibatkan lebih dari 176 korban meninggal dan dan luka-luka. Dua provinsi yang menyaingi Papua dalam hal ini adalah Jawa Barat, dengan 146 korban jiwa, dan Jawa Timur dengan 131 korban jiwa.

Ketiga, tidak seperti provinsi lain, kekerasan di Papua paling sering terjadi bukan dalam bentuk main hakim sendiri, melainkan kekerasan separatis dan terorisme—kekerasan yang tingkat kematiannya hampir dua kali lipat.

Tingkat intervensi rendah

Secara teoritis, kekerasan skala kecil seharusnya mudah dihentikan dengan kebijakan pencegahan konflik atau cara yang lebih umum, yaitu dengan inisiatif intervensi dini.

Sayangnya, tingkat intervensi untuk insiden kekerasan kolektif rendah. Dapat dicatat, pihak ketiga hanya mencoba untuk mengintervensi dan menurunkan eskalasi 23 persen dari semua kekerasan kolektif di Indonesia pada tahun 2021.

Ini adalah penurunan yang signifikan dibandingkan dari tingkat intervensi di awal 2010-an. Data dari National Violence Monitoring System (NVMS) menunjukkan bahwa antara tahun 2006 dan 2015, lebih dari 50 persen dari semua insiden kekerasan kolektif diintervensi. NVMS dijalankan oleh Bank Dunia dan Habibie Center dari tahun 1997 hingga 2015 dan mengumpulkan data tentang semua jenis kekerasan.

Meskipun intervensi dini jarang terjadi, sebagian besar upaya intervensi berhasil. Sepanjang tahun 2021, tiga dari empat intervensi dini oleh pihak ketiga berhasil meredakan ketegangan.

Terlebihnya, tingkat keberhasilan ini sama tingginya antara intervensi oleh aktor negara, seperti polisi dan militer, dan aktor non-negara, seperti warga sipil dan pemimpin tradisional. Sepanjang 2021, intervensi kekerasan kolektif oleh aktor negara memiliki tingkat keberhasilan 68 persen. Untuk intervensi oleh aktor non-negara, tingkat keberhasilannya adalah 63 persen.

Menariknya, ketika intervensi dilakukan secara kolaboratif, melibatkan aktor negara dan non-negara, mereka berhasil 100 persen – walau hanya ada tujuh kasus di mana kolaborasi tersebut terjadi.

Selanjutnya apa?  

Tidak diragukan lagi bahwa sekarang ini Indonesia lebih damai dibandingkan dengan awal 2000-an. Namun, Dataset CVEW menunjukkan bahwa masih banyak yang harus dilakukan.

Terbukti, kekerasan kolektif di Indonesia meningkat sepanjang tahun 2021. Meski sebagian besar insidennya berskala kecil, namun tidak boleh diabaikan. Karena frekuensinya yang tinggi, jumlah korban secara keseluruhan juga tinggi.

Beberapa insiden skala kecil telah meningkat menjadi konflik skala besar. Papua, yang telah mengalami tingkat kekerasan kolektif tertinggi jika dibandingkan dengan populasi, harus mendapat perhatian terbesar.

Untuk mencegah eskalasi, intervensi perlu dilakukan dengan cepat, pada awal insiden. Ketika pihak ketiga melakukan intervensi dalam konflik, kemungkinan besar mereka akan berhasil.

Sayangnya, tingkat intervensi di Indonesia masih rendah. Meskipun lebih banyak data yang diperlukan untuk memantau tren pada tahun 2022, gambaran ini harus menjadi perhatian. Kedepannya, Indonesia harus berinvestasi lebih besar dalam meningkatkan kapasitas intervensi dini – baik untuk aktor negara maupun non-negara.

Alif Satria adalah peneliti di Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia. Penelitiannya berfokus pada terorisme dan kekerasan politik di Asia Tenggara.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.