Perahu pengungsi Rohingya “hilang” setelah diikuti kapal tentara Indonesia
2023.12.29
Jakarta
Perahu yang mengangkut pengungsi Rohingya menghilang keluar perairan Indonesia setelah kapal Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut membayangi kedatangannya di lautan Aceh, kata juru bicara Tentara Nasional Indonesia, Jumat (29/12).
TNI AL berpatroli di perairan Aceh sejak beberapa hari terakhir menyusul masuknya gelombang pengungsi Muslim Rohingya yang sebagian besar perempuan dan anak-anak.
Salah satu kapal perang TNI-AL "membayangi" perahu kayu tersebut pengungsi Rohingya tersebut hingga meninggalkan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia dengan selamat pada Rabu (27/12), tetapi tidak dapat memastikan tujuannya.
“Saya belum monitor di mana posisi mereka sekarang,” ujar Kepala Pusat Penerangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Brigjen Nugraha Gumilar kepada BenarNews tanpa merinci jumlah pengungsi di dalam kapal tersebut.
TNI mengklaim para penumpang kapal tersebut sebagai "korban perdagangan manusia".
Merespons kejadian ini, badan PBB untuk urusan pengungsi, UNHCR, mendesak pemerintah Indonesia segera mengizinkan kapal Rohingya yang sedang kesulitan di lautan untuk menepi agar tidak ada korban jiwa dan pertolongan dapat segera diberikan.
“UNHCR sangat mengkhawatirkan keselamatan para pengungsi yang berada di kapal,” ujar Faisal Rahman, perwakilan UNHCR di Aceh kepada BenarNews.
Faisal menambahkan kelompok Rohingya telah melarikan diri dari kekerasan, penganiayaan dan terpaksa mengungsi selama puluhan tahun.
Banyak di antara mereka adalah perempuan, anak-anak dan kelompok rentan lainnya seperti orang dengan disabilitas dan para lanjut usia.
“Bagi mereka yang mencari perlindungan internasional, izin berlabuh dengan aman dan akses untuk prosedur suaka serta kemanusiaan harus diberikan,” jelasnya.
Faisal menyampaikan selama puluhan tahun, Indonesia telah menjalankan tradisi kemanusiaan yang memberikan perlindungan bagi pengungsi di negara ini.
“UNHCR berharap untuk melihat solidaritas dan semangat kemanusiaan yang sama saat ini dan di masa mendatang,” terangnya.
Merujuk catatan UNHCR, jumlah pengungsi Rohingya di Indonesia sendiri sejatinya tidak lebih banyak dari negara-negara lain seperti Malaysia atau India.
UNCHR mencatat Malaysia hingga saat ini menampung 105 ribu pengungsi, India 22 ribu, dan Bangladesh sekitar 1 juta pengungsi. Pengungsi Rohingya di Indonesia saat ini tercatat sekitar 2.000 orang.
Atika Yuanita Paraswaty, Ketua Suaka, lembaga pemantau hak-hak pengungsi, mengatakan seharusnya pemerintah memperlakukan kapal pengungsi di perairan Indonesia sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB soal Hukum Laut atau UNCLOS yang sudah diratifikasi.
“Pemerintah seharusnya membantu saat ada pengungsi yang membutuhkan bantuan di laut,” ujar Atika kepada BenarNews.
Menurut Atika, jika ada indikasi kejahatan seperti dugaan perdagangan orang yang diungkapkan polisi, maka mereka harus diproses di Indonesia dan pengungsi harus tetap bisa diterima dan masuk.
“Mereka ini sudah di perairan Indonesia jadi harusnya diterima dan penanganannya sesuai Peraturan Presiden soal penanganan pengungsi,” ujar dia.
Pengamat Hubungan Internasional Universitas Indonesia Yon Machmudi mengatakan penanganan pengungsi Rohingya yang terkatung-katung di lautan seharusnya didasarkan pada aspek kemanusiaan.
“Jika semua negara memperlakukan pengungsi sebagai ancaman, kemudian diusir, dihalangi dari laut satu ke laut yang lain sehingga tidak bisa berlaku ke daratan, pasti mereka akan terkatung-katung di lautan, dan akhirnya akan semakin memburuk,” ujar Yon kepada BenarNews.
Dia mengatakan negara-negara yang sudah meratifikasi Konvensi Pengungsi dan sudah bekerja sama dengan UNHCR tentu memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk menampung pengungsi Rohingya.
“Apabila kemudian tidak bisa menampung, bisa juga memberikan bantuan berkoordinasi terhadap suatu negara yang dijadikan sebagai tempat untuk penampungan sementara,” jelasnya.
Menurut Yon, setiap negara harus memahami bahwa yang paling penting adalah jaminan keamanan bagi para pengungsi yang memang sangat rentan atas nasib mereka.
“Nasib pengungsi Rohingya sudah menjadi keprihatinan global,” ungkapnya.
Komnas HAM mengatakan opsi mengembalikan ke negara asal bagi pengungsi Rohingya tidak dapat dilakukan jika para pengungsi tersebut berpotensi berada dalam ancaman persekusi, penyiksaan, perlakuan dan hukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.
“Hal ini sesuai dengan prinsip non-refoulement yang tercantum dalam Konvensi Anti Penyiksaan yang sudah diratifikasi Indonesia,” ujar Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombing dalam pernyataannya pada Kamis (28/12).
Sebelumnya, sejumlah aktivis hak asasi manusia dan pengamat mengecam tindakan pengusiran sejumlah mahasiswa terhadap pengungsi Rohingya di tempat penampungan sementara di Banda Aceh yang terjadi pada Rabu (27/12).
Sejumlah 137 pengungsi yang ketakutan karena diusir mahasiswa pada Rabu, kebanyakan perempuan dan anak-anak, telah diangkut dengan truk ke tempat lain dan mendapatkan pengawalan, kata seorang menteri senior.
Para aktivis dan pengamat menduga mahasiswa yang menyerbu pengungsian orang Rohingya di Aceh telah dipengaruhi oleh kampanye disinformasi "terorganisir".
Dugaan itu muncul seiring derasnya kecaman terhadap insiden pengusiran itu.
Merujuk data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, sejak Januari 2009 tercatat 39 kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh dengan lima titik pengungsian yakni di Sabang, Banda Aceh, Pidie, Bireuen, dan Aceh Timur.
Nazarudin Latif berkontribusi dalam berita ini.