Di Dili, masa depan Indonesia berarti berusaha melupakan masa lalu Timor-Leste

Presiden terpilih Prabowo Subianto telah dikaitkan dengan dugaan pelanggaran HAM di Timor-Leste.
Ahmad Syamsudin
2024.04.05
Dili, Timor Leste
Di Dili, masa depan Indonesia berarti berusaha melupakan masa lalu Timor-Leste Hugo Fernandes, direktur eksekutif Centro Nacional Chega!, sebuah museum yang menempati bekas penjara tempat para pejuang perlawanan Timor-Timur disiksa dan ditahan selama pendudukan Indonesia, berfoto di institusi tersebut di Dili, Timor-Leste, 27 Maret 2024.
Julião Fernandes Guterres/BenarNews

Di galeri sebuah museum di Timor-Leste, foto-foto yang pudar dan coretan tangan para tahanan menjadi saksi perlawanan dan penindasan selama pendudukan Indonesia –era di mana presiden terpilih Prabowo Subianto dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Centro Nacional Chega! adalah sebuah museum kenangan yang berada di bekas penjara era Portugis di Dili. Hugo Fernandes, warga Timor Leste yang juga mantan aktivis lulusan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta adalah direktur eksekutif di museum itu.

Terlepas dari bayang-bayang sejarah, kemenangan Prabowo di pemilihan presiden 14 Februari lalu disambut dengan hati-hati dan sopan santun diplomasi di negara kecil berpenduduk 1,3 juta jiwa yang juga dikenal sebagai Timor Timur.

"Siapa pun yang melakukan operasi militer selama 24 tahun Timor-Leste ketika terjadi operasi-operasi militer besar itu menanggung beberapa tanggung jawab secara hukum, bukan hanya Prabowo," kata Hugo dalam wawancara dengan BenarNews.

Dia menyebut di antara komandan itu termasuk juga mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Abdullah Mahmud Hendropriyono.

Tindakan spesifik yang dilakukan Prabowo tidak diketahui karena terbatasnya informasi, ujar Hugo.

"Saya tidak menemukan di dalam laporan-laporan ada Prabowo di lapangan,” ujarnya, “susah untuk mendapatkan koroborasi (bukti yang mendukung) tentang apa yang dilakukan.”

“Chega!” yang artinya “Cukup!" dalam bahasa Portugis, menjadi saksi bagaimana Timor-Leste berusaha melintasi jalan terjal dalam menjaga ingatan masa lalu yang kelam dan pada saat yang sama mendorong rekonsiliasi dengan Indonesia.

“Ada dua pendapat di kalangan masyarakat,” kata Hugo, “ada aktivis yang memang masih menuntut pertanggungjawaban atas kejahatan di masa lalu, sementara ada yang menekankan pentingnya berhubungan baik dengan Indonesia.”

Foto kombinasi ini dipasang di Museum Centro Nacional Chega! di Dili yang menjadi saksi masa kelam Timor-Leste di bawah pendudukan Indonesia. Foto diambil pada 3 April 2024 [Julião Fernandes Guterres/BenarNews]
Foto kombinasi ini dipasang di Museum Centro Nacional Chega! di Dili yang menjadi saksi masa kelam Timor-Leste di bawah pendudukan Indonesia. Foto diambil pada 3 April 2024 [Julião Fernandes Guterres/BenarNews]

Pada tahun 1999, mayoritas warga Timor Timur memilih untuk melepaskan diri dari pemerintahan Indonesia, melalui referendum yang diselenggarakan oleh PBB. Sebelum dan sesudah pemungutan suara, milisi pro-Jakarta terlibat dalam kekerasan dan pengrusakan. Timor Timur memperoleh kemerdekaan resmi pada tahun 2002 setelah masa pemerintahan PBB.

Pendudukan yang terjadi setelah Indonesia menginvasi Timor Timur pada Desember 1975 ditandai dengan kelaparan dan konflik. Jumlah kematian yang dikaitkan dengan era tersebut berkisar antara 90.000 hingga 200.000, menurut laporan Komisi Pengakuan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi di Timor Timur.

Angka ini mencakup hampir 20.000 kasus kematian atau penghilangan akibat kekerasan. Temuan komisi ini menunjukkan bahwa pasukan Indonesia bertanggung jawab atas sekitar 70% insiden kekerasan tersebut, mengingat populasi Timor Timur yang berjumlah sekitar 900.000 jiwa pada tahun 1999.

Program Studi Genosida di Universitas Yale AS melaporkan, “hingga seperlima penduduk Timor Timur tewas selama 24 tahun pendudukan Indonesia… jumlah yang sama dengan jumlah penduduk Kamboja yang tewas di bawah rezim Khmer Merah (1975-1979).

Koresponden BenarNews mewawancarai Presiden Timor-Leste José Ramos-Horta di markas Polisi Nasional Timor-Leste di Dili pada 27 Maret 2024. [Julião Fernandes Guterres/BenarNews]
Koresponden BenarNews mewawancarai Presiden Timor-Leste José Ramos-Horta di markas Polisi Nasional Timor-Leste di Dili pada 27 Maret 2024. [Julião Fernandes Guterres/BenarNews]

Ramos-Horta: "Kami tidak memikirkan masa lalu"

Sejak tahun 1999, hubungan antara Timor-Leste dan Indonesia telah berkembang. Jakarta mengakui bekas provinsinya itu sebagai “saudara dekat” dan mendukung upaya Dili untuk bergabung dengan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

Presiden Timor-Leste José Ramos-Horta menyambut baik kemenangan Prabowo dan menyatakan kesiapannya untuk bekerja sama dengannya.

“Sangat senang, sangat senang,” kata Ramos-Horta kepada BenarNews saat ditanya tentang kemenangan mantan menantu dari Suharto, presiden Indonesia yang berkuasa selama 32 tahun, termasuk saat masa pendudukan di Timor Timur.

Di masa mudanya, Ramos-Horta, kini berusia 74 tahun, adalah pendiri dan pemimpin Fretilin, gerakan perlawanan bersenjata yang berjuang untuk membebaskan Timor Timur dari Portugis dan kemudian dari Indonesia.

Dia mengatakan bahwa dia secara pribadi telah menelepon Prabowo, yang juga Menteri Pertahanan, untuk mengucapkan selamat kepadanya, dan bahwa jendral purnawirawan tersebut berencana mengunjungi Timor-Leste sebelum pelantikannya pada 20 Oktober.

Perdana Menteri Xanana Gusmão, mantan pemimpin gerilya yang menghabiskan waktu bertahun-tahun di penjara Indonesia, juga senang dengan berita tersebut, kata Ramos-Horta.

“Presiden terpilih Prabowo akan memberikan banyak kontribusi, pertama untuk Indonesia, menjaga stabilitas dan kemakmuran di Indonesia, dan kemudian di kawasan, serta memperkuat hubungan dengan Timor-Leste,” kata Ramos-Horta seraya menambahkan bahwa Prabowo memiliki “banyak teman” di negaranya, termasuk saudaranya sendiri, Arsenio.

Ketika ditanya tentang catatan hak asasi manusia (HAM) Prabowo di Timor Leste, Ramos-Horta berkata, “Itu sudah lewat. Ini sudah hampir tiga dekade, dan kami tidak memikirkan masa lalu.”

Letjen Prabowo Subianto (kiri) berfoto bersama Mayjen Muchdi Purwopranjono, penggantinya menjadi Komandan Pasukan Khusus (Kopassus) usai upacara serah terima di Jakarta, 28 Maret 1998. [Foto file Reuters]
Letjen Prabowo Subianto (kiri) berfoto bersama Mayjen Muchdi Purwopranjono, penggantinya menjadi Komandan Pasukan Khusus (Kopassus) usai upacara serah terima di Jakarta, 28 Maret 1998. [Foto file Reuters]

Tokoh kunci

Prabowo adalah tokoh kunci dalam operasi militer yang menumpas perlawanan Timor Timur.

Aliansi Nasional Timor-Leste untuk Pengadilan Internasional (ANTI), sebuah koalisi yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil, penyintas, dan keluarga korban, mengatakan bahwa Prabowo diduga terlibat dalam pembantaian tahun 1983 di Kraras.

Beberapa laporan mengatakan bahwa 200 orang terbunuh di sana, sehingga daerah tersebut mendapat julukan “kota para janda”.

Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada bulan November, aliansi tersebut mengatakan bahwa sebagai komandan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD, Prabowo telah mengarahkan tindakan-tindakan yang mengakibatkan pelanggaran dan kejahatan HAM berat, termasuk pembunuhan dan pembentukan milisi pro-Indonesia yang disebut melakukan kekerasan pasca-referendum pada tahun 1999.

Selain itu, Prabowo juga dikaitkan dengan pembantaian tahun 1991 di pemakaman Santa Cruz di Dili, yang menewaskan sekitar 250 perserta aksi damai, kata aliansi tersebut.

Pada tahun 1998, Prabowo diberhentikan dari militer setelah dewan kehormatan memutuskan dia bersalah atas beberapa pelanggaran, termasuk keterlibatan dalam penculikan dan penghilangan aktivis pro-demokrasi selama protes mahasiswa tahun 1998 yang menyebabkan jatuhnya Presiden Suharto.

Prabowo, 72 tahun, membantah melakukan kesalahan dan mengatakan dia hanya mengikuti perintah atasannya. Dia belum pernah diadili di pengadilan sipil atas tuduhan kejahatan tersebut.

Tim kampanye Prabowo dalam pencalonannya sebagai presiden mengatakan bahwa para saksi, termasuk tokoh agama di Timor-Leste, telah menyangkal hubungan Prabowo dengan pembantaian di Krakas.

Milisi pro-Indonesia bersiaga di jalanan bersenjatakan senapan ketika terjadi bentrokan dengan pendukung pro-kemerdekaan Timor Timur di ibu kota provinsi Dili, 26 Agustus 1999. [Firdia Lisnawati/AP file foto]
Milisi pro-Indonesia bersiaga di jalanan bersenjatakan senapan ketika terjadi bentrokan dengan pendukung pro-kemerdekaan Timor Timur di ibu kota provinsi Dili, 26 Agustus 1999. [Firdia Lisnawati/AP file foto]

Sulit dihapus

Bagi banyak orang Timor Leste, kenangan akan pendudukan Indonesia sulit untuk dihapuskan.

Naldo Rei, 50, mantan pejuang gerilya yang berulang kali dipenjara selama periode pendudukan, mengatakan bahwa dia tidak bisa mengabaikan catatan HAM yang dimiliki Prabowo.

“Meskipun saya tidak ingin ikut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, namun jika menyangkut masalah hak asasi manusia, Prabowo memiliki rekam jejak yang sangat mengkhawatirkan,” ungkap Rei kepada BenarNews.

Rei menghabiskan masa kecilnya bersembunyi di hutan Los Palos setelah kehilangan enam anggota keluarganya, termasuk ayahnya, yang tewas dalam aksi militer Indonesia.

Pada awal tahun 1990-an, ia kabur dan menetap Jakarta, kemudian di Australia, sebelum kembali di Timor-Leste yang merdeka.

Rei, penulis “Resistance,” sebuah memoar yang merinci pengalamannya, menyuarakan kekhawatirannya akan arah demokrasi di Indonesia.

“Kemenangan Prabowo, menurut saya, menyia-nyiakan demokrasi yang telah diperjuangkan rakyat,” ujarnya. “Berapa banyak nyawa yang hilang? Dia dan jenderal lainnya berlumuran darah!”

Naldo Rei, mantan pejuang gerilya yang berulang kali dipenjara selama periode pendudukan, di rumahnya di Manleuana, Timor-Leste, pada 27 Maret 2024. [Julião Fernandes Guterres/BenarNews]
Naldo Rei, mantan pejuang gerilya yang berulang kali dipenjara selama periode pendudukan, di rumahnya di Manleuana, Timor-Leste, pada 27 Maret 2024. [Julião Fernandes Guterres/BenarNews]

Pragmatis

Januario Soares, mahasiswa kedokteran tahun kedua di Universitas Nasional Timor Lorosae, mewakili sentimen di kalangan generasi muda yang fokus pada masa depan.

“Indonesia telah memilih pemimpinnya. Kita perlu fokus ke masa depan,” kata Soares sambil duduk di bawah naungan pohon mahoni di luar kampusnya di Dili.

Ia menilai memperkuat hubungan kedua negara sangat penting.

“Perang saudara membuat kita terpecah, dan dalam perpecahan itu, kita membuka pintu ke Indonesia,” kata Soares, “yang terjadi selanjutnya adalah periode kekerasan terhadap rakyat kami, sebuah luka dalam sejarah kami.”

map.jpeg

Namun, soal peran Prabowo dalam sejarah itu, Soares mengaku tidak tahu banyak.

“Rakyat Indonesia sudah menentukan pilihannya. Mungkin Prabowo adalah yang terbaik di antara para kontestan; itu sebabnya mereka memilih dia,” katanya.

Soares mengatakan dia memilih pendekatan pragmatis terhadap masa lalu, dengan fokus pada peningkatan kualitas hidup dan mencari manfaat untuk masa kini dan masa depan.

“Orang-orang berubah seiring berjalannya waktu, dan saya yakin Prabowo juga telah berubah.”

Natalina da Costa, seorang siswa sekolah menengah di Dili, menenun “tais” kain tradisional Timor di Pasar Tais di Colmera, Dili, pada 7 Juli 2023. [Julião Fernandes Guterres/BenarNews]
Natalina da Costa, seorang siswa sekolah menengah di Dili, menenun “tais” kain tradisional Timor di Pasar Tais di Colmera, Dili, pada 7 Juli 2023. [Julião Fernandes Guterres/BenarNews]

Damien Kingsbury, seorang pakar politik yang berspesialisasi dalam masalah Timor-Leste, mengatakan para pemimpin Timor-Leste berkewajiban untuk menjaga sopan santun diplomatik karena ketergantungan negara kecil tersebut pada Indonesia untuk impor dan aspirasi untuk bergabung dengan ASEAN. Indonesia adalah salah satu anggota pendiri ASEAN.

“Tentu saja Ramos-Horta harus bersikap diplomatis,” kata Kingsbury, seorang profesor di Deakin University di Australia, yang banyak menulis tentang Timor-Leste dan Indonesia.

“Dia adalah presiden sebuah negara kecil yang memiliki sejarah yang tidak menyenangkan dengan Indonesia dan tidak ingin menimbulkan masalah apa pun,” katanya kepada BenarNews.

Kingsbury menunjukkan bahwa meskipun Ramos-Horta, seorang peraih Nobel dan diplomat terkemuka, fasih dalam bahasa diplomasi, terdapat kesenjangan generasi dalam kesadaran akan masa lalu.

“Generasi muda mungkin tidak mengetahui peristiwa 20, 30, dan 40 tahun lalu, namun bukan berarti itu tidak terjadi,” ujarnya.

“Pasti ada rasa tidak enak bagi para pemimpin Timor-Leste karena mereka harus bersikap sopan kepada Prabowo.”

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.