Ancaman Darul Islam di Indonesia

Walaupun DI tidak mempunyai kemampuan melakukan aksi teror dalam waktu dekat, organisasi ini masih menjadi ancaman bagi Indonesia.
Komentar oleh Alif Satria
2022.05.12
Jakarta
Ancaman Darul Islam di Indonesia Sebanyak hampir 400 warga yang disebut terkait jaringan Darul Islam (DI)/Negara Islam Indonesia (NII), menggunakan ikat kepala merah-putih, mengikuti acara Cabut Baiat dan “kembali setia” kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, di Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat, pada 27 April 2022.
M. Sulthan Azzam/BenarNews

Pengantar

Menjelang akhir kuartal pertama tahun 2022, Detasemen Khusus 88 (Densus 88) Indonesia menangkap lebih dari 20 tersangka anggota organisasi teroris Darul Islam (DI) - 16 di Sumatra Barat dan lima lainnya di Banten. Penangkapan ini menimbulkan kekhawatiran terhadap kemungkinan kebangkitan DI.

Densus 88 dengan cepat melaporkan bahwa DI Sumbar telah merencanakan berbagai serangan teror tingkat rendah dengan menggunakan golok dan kampanye untuk menggulingkan pemerintah dengan batas waktu tahun 2024. Pada sisi lain para pengamat mencatat bahwa ancaman DI terlalu berlebihan karena selnya saat ini terlalu kecil dan tidak terkoordinasi untuk menimbulkan serangan yang signifikan terhadap pemerintah.

Artikel ini berpendapat bahwa sementara DI sendiri tidak mungkin melakukan serangan teror dalam waktu dekat, namun organisasi tersebut masih menjadi ancaman bagi Indonesia.

Secara historis, bahaya utama DI selalu datang dari kemampuannya untuk mempertahankan impian kekhalifahan para anggotanya melalui berbagai program sosial, meskipun anggota-anggotanya ini kemudian memisahkan diri dari DI. Mereka mendirikan dan mendukung kelompok-kelompok seperti Jemaah Islamiyah (JI) atau Jemaah Ansharut Daulah (JAD) yang lebih antusias mengangkat senjata demi mewujudkan impian terbentuknya kekhalifahan di Indonesia.

Sementara DI yang saat ini meskipun kurang terkoordinasi, kemampuannya untuk membangun dan mempertahankan dukungan untuk mimpi khilafah tetap ada.

Sejarah pemberontakan Darul Islam

Darul Islam adalah organisasi teroris yang didirikan oleh Kartosoewirjo pada tahun 1942 dengan tujuan mendirikan negara Islam Indonesia yang merdeka. Karena adanya kebutuhan untuk mengusir kekuatan kolonial, untuk sementara waktu, DI memainkan peran mendukung kekuatan nasionalis Indonesia dalam perjuangan mereka untuk kemerdekaan melawan Belanda di Jawa Barat. Namun, karena perbedaan visi tentang peran Islam dalam pemerintahan pasca-kemerdekaan Indonesia dan pemisahan sementara Jawa Barat dari Belanda dalam Perjanjian Renville tahun 1949, mereka dengan cepat menjadi bermusuhan dengan pasukan Indonesia.

Sejak saat itu, DI melakukan beberapa upaya untuk mendirikan khilafah. Antara tahun 1949-1962, pemberontakan DI terjadi di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Aceh yang mengakibatkan pengungsian lebih dari 1 juta orang di Jawa saja. Antara tahun 1968-1976, DI melakukan reorganisasi dan memulai kampanye teror di Sumatra atas nama Komando Jihad yang menyebarkan kekacauan untuk mendapatkan dukungan Libya untuk konflik bersenjata. Pada tahun 1982, DI berusaha untuk meniru revolusi Iran 1979 dan menggalang umat Islam untuk melakukan pemberontakan rakyat atas nama Majelis Ulama Indonesia. Karena kekuatan intervensi negara, upaya ini akhirnya gagal.

Bisa dikatakan, jejak DI dalam sejarah Indonesia lebih besar dari upaya mereka sendiri untuk menggulingkan pemerintah. Sepanjang hidupnya, DI telah meradikalisasi dan menginkubasi anggotanya yang kemudian akhirnya menjadi sempalan dari struktur utama organisasi dan mempelopori kelompok pemberontak yang sukses dan membentuk organisasi teroris mereka sendiri. Pada tahun 1976, misalnya, perwakilan DI yang dipilih untuk berhubungan dengan kedutaan Libya, Hasan Tiro, berpisah dari organisasi untuk mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada tahun 1993, kepala urusan luar negeri DI yang mengurus hubungan dengan Al Qaeda, Abdullah Sungkar, juga berpisah dan mendirikan JI

Situasi pemberontakan Darul Islam saat Ini

Meskipun keberadaan DI sementara ini tertutup oleh bayang-bayang JI dan JAD, pihak kepolisian melaporkan bahwa kegiatan mereka terus berlanjut. Saat ini, DI memiliki sel di tujuh wilayah, antara lain Jakarta, Banten, Jawa Barat, Bali, Sulawesi, Maluku, dan Sumatra Barat –– yang masing-masing beroperasi secara “terstruktur dan sistematis” dalam menjalankan sistem rekrutmen empat langkah untuk memeriksa dan mengindoktrinasi simpatisan. Di Sumatra Barat saja, sistem ini dilaporkan merekrut lebih dari 1.125 anggota DI –– yang mana 400 di antaranya adalah anggota aktif dan sisanya menjadi bagian dari sel tidak aktifnya. Salah satu putra Kartosoewirjo mengatakan, pada tahun 2019 DI secara nasional memiliki lebih dari 2 juta anggota dan simpatisan.

Dengan demikian, penting untuk dicatat bahwa sementara sel DI individu tetap aktif, yang terpenting, saat ini DI tidak memiliki komando pusat yang berarti untuk mengoordinasikan aktivitas antar sel.

Masalah ini sudah ada sejak tahun 1998 ketika anggotanya gagal menyelesaikan perselisihan dalam kepemimpinan organisasi.

Sementara para senior setuju untuk mengangkat Tahmid Basuki, salah satu putra Kartosoewirjo, anggota yang lebih muda menganggapnya sebagai lemah, dan menolak mengakui statusnya. Inilah yang pada akhirnya menuju pada “periode banyak imam” dari berbagai sel, yang menganggap diri mereka sebagai DI, beroperasi dan masing-masing menyusun strategi secara independen.

Sementara sel DI hari ini beroperasi secara independen, mereka terikat dalam mimpi yang sama dengan Kartosoewirjo yang ingin mendirikan negara Islam Indonesia. Dalam hal ini, mereka berbagi ruang ideologis yang sama dengan kelompok salafi-jihadis Indonesia lainnya.

Namun, berbeda dari JAD, sel DI melihat komunitas Muslim bukan sebagai musuh tetapi korban dari “pemerintah anti-Islam yang murtad” yang harus mereka lindungi. Tetapi berbeda dengan JI, DI lebih toleran terhadap keyakinan sufi yang menggabungkan ajaran Islam dengan tasawuf lokal. Karena itulah, beberapa sel DI keluar atau menyimpang dari ideologi-ideologi ini –– salah satunya seperti DI Bandung yang mulai mengadopsi ideologi JAD sejak tahun 2014.

Ancaman Pemberontakan Darul Islam di Masa Depan

Dalam waktu dekat tidak mungkin bagi DI untuk membuat ancaman serius untuk menyerang pemerintah Indonesia. Sementara dalam akun terbarunya memperkirakan keanggotaan nasional mereka ada sekitar 2 juta, tidak jelas berapa banyak dari mereka yang adalah anggota terampil dan berapa banyak hanya sebagai simpatisan.

Selain itu, berdasarkan bukti dari DI Sumbar, ternyata DI belum memiliki logistik untuk melancarkan serangan berat - apalagi pada saat penangkapan, polisi hanya menemukan senjata golok.

Yang paling penting, kondisi DI yang terpecah saat ini akan menghalangi segala kemungkinan akan adanya mobilisasi kolektif yang diperlukan untuk serangan yang berarti.

Meski demikian, DI masih menjadi ancaman –– terutama karena kemampuan mereka untuk menanamkan mimpi kekhalifahan di Indonesia kepada individu melalui program sosial mereka. Sel DI di Bandung, misalnya, dilaporkan telah mengembangkan klinik kesehatan, panti asuhan, dan program kesejahteraan yang membangun rasa bermasyarakat dan memberikan kepercayaan pada ideologi DI bagi banyak anggotanya. Salah satu anggota DI Bandung menyatakan, “Mengapa bergabung dengan grup [seperti JI dan JAD] yang masih bermimpi ketika Anda dapat bergabung dengan kelompok yang terbukti mampu mendirikan negara Islam dan memberikan manfaat bagi warganya?"

Yang lebih mengkhawatirkan, para anggota ini kerap tidak setia kepada DI. Seperti disebutkan di atas, sepanjang sejarah keberadaannya, DI terus-menerus menjadi batu loncatan sebelum anggotanya kemudian bergabung dengan kelompok yang lebih kejam.

Di tahun 1976 DI menjadi batu loncatan Hasan Tiro untuk mendirikan GAM, dan pada tahun 1993 DI menjadi batu loncatan bagi Abdullah Sungkar untuk mendirikan JI. Baru-baru ini, sel DI juga telah menjadi batu loncatan bagi anggotanya untuk bergabung dengan kelompok pro-ISIS - dimana anggota DI Bandung bergabung dengan JAD, DI Makassar akhirnya menjadi JAD Makassar, dan sempalan DI di Sumatra Utara akhirnya membentuk kelompok Muslim Nasution pro-ISIS di Belawan.

Jadi, meskipun DI sendiri tidak menimbulkan ancaman kekerasan, kemampuannya untuk menarik anggota dapat menjadi basis organisasi yang lebih kejam yang menunjukkan bahwa kelompok itu tidak boleh dianggap enteng.

Alif Satria adalah peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta. Opini yang disampaikan dalam artikel ini bersifat pribadi dan tidak mencerminkan pandangan BenarNews.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.